Yesus, sungguh Allah sungguh manusia

Pendahuluan:

Pada umumnya, kita mengasihi seseorang yang sudah kita kenal sebelumnya. Selanjutnya, jika kita sungguh- sungguh mengasihi orang itu, maka tentu kita ingin mengenalnya lebih dalam. Hal ini juga berlaku dalam hubungan kita dengan Kristus. Siapakah Kristus itu bagi kita? Siapakah Kristus itu sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan serupa ini seharusnya mengantar kita untuk lebih mengenal dan mengasihi Dia. Ia menjadi Penyelamat kita manusia, karena Ia adalah sungguh-sungguh Allah, dan sungguh-sungguh manusia. Karena Kristus adalah Allah, maka Ia sudah ada sebelum dunia ini diciptakan. Namun Ia rela menjelma menjadi manusia, karena mengasihi kita. Pada saat waktunya genap, Ia memilih untuk dilahirkan ke dunia, maka Putera Tunggal Allah yang tak terbatas, masuk ke dalam sejarah manusia. Hakekat ke-Allahan dan ke-manusiaan Kristus ini adalah ciri khas Yesus, yang membuat-Nya berbeda dari para nabi ataupun orang kudus manapun.

Yesus sungguh Allah, sungguh manusia

Bagi orang Katolik, sebutan bahwa Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia, tidaklah asing. Namun apakah kita sungguh memahaminya? Apakah kita mengetahui dasar-dasarnya mengapa dikatakan bahwa Yesus Kristus adalah  Putera Tunggal Allah yang menjadi manusia, sehingga Ia adalah sungguh-sungguh Allah, dan sungguh-sungguh manusia?
Ya, istilah Teologi yang menjelaskan ciri khas Pribadi Yesus ini adalah “hypostatic union“. Ini merupakan misteri Kristus yang tidak sepenuhnya dapat kita pahami selama kita hidup di dunia ini, namun begitu jelas diajarkan dalam Alkitab. Yesus Kristus adalah Juru Selamat manusia yang menghapuskan dosa-dosa kita. Yesus adalah Pengantara kita yang menghubungkan kita dengan Allah. Sebagai manusia, Yesus dengan kehendak bebas-Nya mempersembahkan kurban penghapus dosa, yaitu diri-Nya sendiri, dan karena Ia adalah Tuhan, maka korban-Nya ini bernilai tak terbatas, sehingga mampu menghapus semua dosa manusia di sepanjang sejarah. Jika Gereja Katolik mempertahankan kebenaran ini, adalah karena kedua hal ini, ke-Allahan Yesus dan kemanusiaan-Nya, adalah “kedua hal yang sama pentingnya dalam karya keselamatan Allah.”[1]

Protestant Kenotic Christology: apakah itu?

Pengertian tentang ke-Allahan dan kemanusiaan Yesus sangatlah penting, jika kita ingin mengenal siapa Yesus yang sesungguhnya. Tanpa pemahaman ini, kita akan mempunyai gambaran yang keliru tentang Yesus Kristus. Dewasa ini kita mengenal teori-teori baru dari para peneliti Alkitab/ exegete modern yang berusaha memisahkan Kristus yang kita imani dengan Yesus menurut sejarah (the Christ of Faith and the Jesus of history). Pandangan ini sesungguhnya berakar dan tidak terlepas dari pendapat yang mengatakan bahwa selama hidup-Nya di dunia (33.5 tahun) Yesus itu ‘hanya’ manusia biasa, bukan Tuhan [walaupun disertai oleh Allah Bapa dan Roh Kudus secara istimewa]; dan baru setelah kebangkitan-Nya, Yesus adalah Tuhan.
1) Pandangan di atas mengambil dasar utama dari Fil 2: 6-11 yang mengatakan bahwa Kristus Yesus, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia…. Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib….” Pandangan ini dikenal dengan ajaran Martin Luther,Protestant Kenotic Christology,[2] yang pada dasarnya bukan memahami bahwa Yesus mempunyai 2 kodrat (yaitu Allah dan manusia) dalam satu Pribadi-Nya semasa hidup-Nya di dunia, melainkan membaginya menjadi dua tahapan: tahap pengosongan (state of self- emptying) dan tahap pemuliaan (state of exaltation) sesudah kebangkitan. Dengan demikian, Luther tidak membedakan kodrat dan Pribadi Yesus, sehingga sebenarnya ajarannya mempunyai kemiripan dengan campuran ajaran Arianism dan Monophisitism, ajaran yang menyimpang pada abad ke-3 dan ke-5.
Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan mengetahui bahwa interpretasi yang dipegang oleh Bapa Gereja adalah bahwa yang dimaksud oleh Paulus dalam “pengosongan diri” ini adalah bahwa Pribadi kedua dari Trinitas yaitu Sang Firman Allah, mengambil rupa manusia melalui Inkarnasi, agar dengan demikian Ia dapat menderita dan mati. Maka dikatakan Ia yang “dalam rupa Allah….  mengambil rupa seorang hamba” sehingga di dalam rupa tersebut Ia “merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati …di kayu salib.” Maka disini yang tidak dipertahankan Kristus adalah ketidakterbatasanNya sebagai Allah, bahwa sebagai Allah Ia tidak mungkin menderita dan mati, sedangkan dengan menjelma menjadi manusia Ia dapat menderita dan mati. Maka dari teks itu sendiri sebenarnya tidak menunjukkan bahwa dengan mengambil rupa sebagai manusia, Yesus berhenti menjadi Allah. Sebab dari kodrat-Nya, Allah tidak mungkin berhenti menjadi Allah, ataupun berubah dari yang sempurna -dalam Trinitas- menjadi tidak sempurna -karena pada satu periode Allah tidak berupa Trinitas. Karena kalau demikian, maka Allah mempertentangkan Diri-Nya sendiri dan ini tidak mungkin (lih.2 Tim 2:13). Silakan membaca artikel bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada, silakan klik, untuk melihat dengan akal budi kita, bagaimana Tuhan tidak mungkin berhenti menjadi Tuhan, atau berubah menjadi tidak sempurna. Di atas semua itu, mari kita merenungkan kebenaran yang tertulis dalam Mzm 49:8-9, bahwa seorang manusia  tidak akan bisa memberikan tebusan (dosanya) kepada Allah; maka untuk itu, untuk menjadi tebusan dosa bagi banyak orang, maka Yesus tidak mungkin ‘hanya’ manusia, Ia harus sekaligus Allah, agar dapat menyelamatkan umat manusia dengan wafat-Nya di kayu salib.
Jika kita memahami kodrat Allah, maka kita mengetahui bahwa Allah tidak dapat menjadi tidak sempurna. Allah Trinitas adalah Allah yang maha sempurna dan kekal, alfa dan omega, dan sungguh tidak terbatas oleh waktu. Maka jika ada yang terbatas dalam diri Yesus itu adalah karena keterbatasan kodrat manusia (yang terbatas oleh ruang dan waktu), sedangkan kuasa-Nya sebagai Allah tetap sempurna. Karena itulah, dalam penjelmaan-Nya sebagai manusia Ia dapat mengampuni dosa dalam nama-Nya sendiri (Mt 9:2-8; Mk 2:3-12; Lk 5:24, 7:48), melakukan banyak mukjizat dalam nama-Nya (Mat 8: 26; 14: 13-20; Mrk 6:30-44; Luk 9: 10-17; Yoh 6:1-13), mengusir setan (Mat 8:28-34), menyembuhkan yang sakit (Mat 8:1-16,  9:18-38, 14:36, 15: 29-31) dan membangkitkan orang mati dalam nama-Nya sendiri (Luk 7:14; Yoh 11:39-44), dan para malaikatpun melayani Dia (Mat 3:11). Ini tidak mungkin terjadi, jika pada waktu penjelmaan-Nya Ia bukan Allah. Silakan membaca lebih lanjut dalam artikel ini, silakan klik untuk melihat secara obyektif betapa banyaknya bukti yang menunjukan bahwa pada saat hidup-Nya di dunia Yesus itu sungguh-sungguh Allah, dari segala perkataan dan perbuatan yang dilakukan-Nya. Untuk menilai bahwa ucapan dan perbuatan Yesus itu “hanya” perbuatan manusia biasa adalah sikap yang “menutup mata” terhadap kenyataan yang sesungguhnya tidak perlu dibuktikan. Menolak untuk percaya bahwa selama 33.5 tahun hidup-Nya di dunia Yesus bukan Tuhan, adalah suatu bentuk distorsi pengenalan akan Pribadi Yesus. Ini hampir saja serupa bahwa seseorang menolak kenyataan bahwa matahari itu sumber terang, walaupun sudah jelas-jelas cahayanya tersebar ke mana-mana.
Mereka yang menganggap Yesus “hanya” manusia biasa semasa hidupnya, menyetarakan Dia dengan para nabi sebelum Kristus. Padahal, kita mengingat bahwa bahkan para nabi tersebut, tidak pernah mengampuni dosa ataupun melakukan mukjizat dalam nama mereka sendiri, ataupun mengajar dengan otoritas mereka sendiri. Lihat saja bagaimana ungkapan ayat-ayat Alkitab dalam PL, dimana berkali-kali disebutkan, “Berfirmanlah Allah kepada (Musa/ nabi-Nya)…. “, sedangkan dalam Injil, Yesus tak terhitung mengatakan, “Tetapi Aku berkata kepadaMu….” Jangan lupa bahwa para nabi bahkan sudah menubuatkan kedatangan hamba Tuhan yang adalah Allah sendiri. Selanjutnya, silakan klik di sini untuk membaca nubuat-nubuat para nabi akan kedatangan Yesus, yang adalah Tuhan.
2) Berikutnya, pandangan ini (Protestant Kenotic Christology) juga mengambil ayat- ayat dari Rom 4:24, 6:4, 8:11; 1Kor 4:14, 1Kor 6:14, Kis 2:24, 3:25, 10:40, yang mengatakan bahwa Yesus itu “dibangkitkan” oleh Allah. Sehingga kesimpulan pendapat ini adalah Yesus bukan Allah sehingga tidak dapat bangkit sendiri melainkan perlu dibangkitkan oleh Allah. Padahal di ayat-ayat yang lain dalam Alkitab juga dikatakan demikian, bahwa Yesus bangkit (bukan dibangkitkan), misalnya di Mat 28:6; Mk 16:6, 9; Luk 24:34.
Apakah ayat-ayat tersebut bertentangan? Tentu tidak! Kuncinya adalah, 1) kita harus memahaminya dengan pemahaman para rasul itu sendiri; 2) kita membaca ayat-ayat tersebut dan juga Flp 2:6-11 dengan kesatuan dengan ayat-ayat Alkitab yang lain. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa para rasul percaya bahwa Yesus, semasa hidupNya, adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh manusia. Maka dari kodrat-Nya sebagai manusia Ia dibangkitkan Allah, sedangkan dari kodrat-Nya sebagai Allah, maka Ia bangkit dengan kuasa-Nya sendiri. Ini adalah pemahaman Gereja sejak awal mula dan berkali-kali ditegaskan, namun yang paling jelas dalam Konsili Chalcedon (451), di mana dikatakan:
Kristus mempunyai dua kodrat, yang tidak tercampur baur, tanpa perubahan, tidak dapat dibagi-bagi dan dipisahkan…. Ia menjadi satu Pribadi dan satu hakikat (hypostatis), tidak terbagi menjadi dua pribadi, namun kedua kodrat itu membentuk Pribadi Yesus yang unik, satu dan sama.”[3]
Singkatnya, sudah seharusnya hal ‘pengosongan diri’ Kristus (Fil 2:6-11) dan perihal kata ‘dibangkitkan’, jangan dilepaskan konteksnya dengan keseluruhan Alkitab yang menyatakan bahwa Yesus pada saat hidupnya di dunia itu sungguh- sungguh Allah, walaupun Ia juga sungguh-sungguh manusia. Pandangan yang melepaskan konteks itu sebenarnya bukan merupakan pengajaran para rasul, dan jika diperhatikan juga bukan merupakan maksud Rasul Paulus yang menuliskannya. Silakan membaca tulisan Rasul Paulus yang lain, yang menujukkan bahwa Yesus adalah Allah pada saat penjelmaan-Nya sebagai manusia seperti yang tertulis pada surat kepada jemaat di Kolose dan Ibrani (lihat point no. 6 berikut ini)

Dasar Alkitab

Maka mari dengan kerendahan hati, kita merenungkan ayat-ayat Alkitab berikut ini yang mendasari para Bapa Gereja mengajarkan adanya dua kodrat (yaitu Allah dan manusia) dalam satu Pribadi Yesus. Mari kita memohon rahmat Roh Kudus agar kita dimampukan untuk melihat kedalaman misteri Allah ini, seperti yang diwahyukan-Nya sendiri kepada kita melalui Kitab Suci:
1. Kesaksian dari Rasul Yohanes, murid yang dikasihi Yesus secara istimewa, menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Justru karena kedekatannya dengan Yesus, maka kita selayaknya percaya kepada kebenaran kesaksian Rasul Yohanes tentang Yesus. Yoh 1:1 14: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah….. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.”
Rasul Yohanes memulai Injilnya dengan menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan. Sesungguhnya, untuk membuktikan ke- Allahan Yesuslah maka Yohanes menuliskan Injilnya, yang merupakan kitab Injil yang terakhir. Dalam Yoh 20:31 dikatakan, “tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”
Jadi, karena Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah sendiri, maka artinya, kebersamaan dengan Allah dalam kepenuhannya itu tidak terputuskan oleh penjelmaan-Nya menjadi manusia dalam diri Yesus.
2. Kesaksian Rasul Petrus: Mat 16:16, “Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Rasul Petrus adalah orang yang pertama mengakui dengan mulutnya tentang ke-Allahan Yesus semasa Yesus hidup di dunia. Dan Yesus membenarkan iman Petrus ini, dengan mengatakan bahwa Bapa di sorgalah yang menyatakan hal ini kepadanya (ay.17). Yesus kemudian mempercayakan Gereja-Nya ke dalam pimpinan Petrus (ay. 18) Gereja Katolik dengan setia mengajarkan pengakuan iman Petrus ini, bahwa Yesus Kristus, adalah sungguh Anak Allah yang hidup. Mesias Anak Allah yang hidup ini tidak bisa direduksi menjadi manusia biasa yang bukan Allah, sebab jika demikian, Ia bukan sungguh-sungguh Anak Allah.
3. Kesaksian dari Malaikat Gabriel, yang berkata kepada Bunda Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (Luk 1: 35). Maka kita ketahui bahwa oleh Roh Kudus yang turun atas Maria, maka Yesus bukanlah manusia biasa, namun Anak Allah.
4. Perkataan Elisabet yang ditujukan kepada Bunda Maria, dalam Luk 1:42: “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Jika Yesus hanya manusia biasa, tentu Elisabet tidak berkata demikian.
5. Kesaksian Yesus sendiri tentang Diri-Nya Luk 2:49: Perkataan Yesus yang pertama yang dicatat di Alkitab adalah pernyataan-Nya tentang identitas-Nya sebagai Putera Allah, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Sedangkan kehidupan publik Yesus dimulai dengan pernyataan Allah Bapa kepada Yesus pada saat Pembaptisan di sungai Yordan, Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” (Mat 3:17). Jika yang memberi kesaksian tentang Yesus sebagai Putera Allah adalah Allah Bapa sendiri, maka selayaknya kita percaya bahwa Yesus adalah Allah.
Yoh 8:58: Yesus sendiri mengatakan bahwa Ia adalah Allah dengan mengatakan bahwa Ia sudah ada sebelum Abraham, sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” Jika Ia “hanya” manusia biasa, Ia tidak dapat berkata demikian, sebab sebagai manusia biasa Ia tidak mungkin ada sebelum Abraham. Perkataan-Nya ini hanya masuk di akal jika Ia adalah Allah yang keberadaan-Nya tak terbatas oleh waktu, dan kemudian menjadi manusia sehingga dapat mengatakan pernyataan tersebut dengan ucapan mulut manusia dalam diri Yesus.
Yoh 13:13, “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan.” Ini adalah pernyataan yang sangat jelas, yang dikatakan Yesus dalam Perjamuan Terakhir, sebelum kebangkitan-Nya. Maka tidak mungkin bahwa Ia baru menjadi Tuhan setelah kebangkitan-Nya, sebab jika demikian, maka Ia tidak akan berkata demikian kepada para murid-Nya.
Selanjutnya, kita harus dengan jeli melihat bahwa di seluruh Injil, dalam mengidentifikasikan diri-Nya sebagai Anak Allah, Yesus tidak menyamakan Diri-Nya secara persis dengan kita yang juga disebut anak-anak Allah. Kita yang percaya kepada-Nya adalah anak-anak angkat Allah, sedangkan Kristus adalah Anak Allah yang Tunggal yang sehakekat dengan Allah (istilahnya, homo-ousios, the only begotten Son). Maka tepatlah jika Yesus mengatakan, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa…Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh 14:9, 11) Tidak ada satu nabipun yang dapat berkata demikian; tidak ada seorang manusiapun yang berhak berkata demikian, kalau Ia bukan sekaligus Allah.
6. Sekarang mari kita melihat kesaksian Rasul Paulus dalam surat-suratnya untuk melihat keutuhan pengajaran Rasul Paulus:
Kol 1:15-20: “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan….. karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu….. Ia yang lebih utama dari segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus. ”
Yesus menjadi “gambar Allah” yang hidup pada saat Ia menjelma menjadi manusia. Dan kepenuhan Allah ini adalah kesempurnaan Allah yang diam di dalam-Nya, sehingga artinya selama hidup-Nya di dunia dan selama-lamanya, Yesus adalah Allah. Jika tidak demikian, tentunya tidak dikatakan “kepenuhan Allah diam di dalam Dia.” Selanjutnya, justru karena kodrat-Nya sebagai Allah dan manusia, maka Ia dapat “mengadakan pendamaian” antara Allah dan manusia. Jika Ia hanya manusia biasa saja, maka Ia tidak bisa mendamaikan Allah dan manusia dengan sempurna; sebab Ia hanya seperti nabi-nabi yang lain yang datang sebelum Kristus. Ini tidak sesuai dengan nubuat para nabi, dan bahkan pengajaran Yesus sendiri dalam perumpamaan penggarap kebun anggur (Mat 21:33-46; Luk 20: 9-19). Kalau Ia ‘hanya’ manusia biasa yang bukan Allah, Ia tentu tidak mengajarkan demikian.
Maka Flp 2:6-7 ” Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah….. mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi manusia”, selayaknya dibaca berdampingan dengan Kol 1:15-20, yang menyatakan keistimewaan dan keutamaan Kristus yang tidak terdapat dalam manusia yang lain, justru karena Ia adalah Tuhan. Sebab hanya di dalam Tuhanlah segala sesuatu dapat diciptakan. Dan Tuhan yang di dalamNya semua diciptakan ini menjelma menjadi manusia dalam rupa seorang hamba, agar gambaran Allah yang merendahkan Diri dapat diwujudkan. Maka walaupun  “mengosongkan diri” selama hidup-Nya di dunia, Yesus tetaplah Tuhan; hanya saja, Ia mengambil rupa manusia.
Ibr 1: 2-3: “Pada jaman akhir ini, Ia (Allah) telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada….. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.”
Kita ketahui bahwa “Allah telah berbicara” melalui Yesus kepada para rasul dan pengikut-Nya pada saat Ia menjelma menjadi manusia. Pada saat menjadi manusia itulah Yesus menjadi gambaran Allah yang hidup, yang sebelum penjelmaan-Nya tidak kelihatan. Karena Yesus adalah “cahaya kemuliaan Allah”, maka tidak mungkin Ia berhenti menjadi Allah, karena Allah tidak mungkin kelihangan “cahaya kemuliaan-Nya” walaupun hanya 33.5 tahun.
Maka ini sangat cocok dengan perkataan Yesus sendiri pada Yoh 17:4-5, di mana Ia berkata, “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya. Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada.”
Gal 4:4-5: “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak.” Maka dari ayat ini terlihat bagaimana Rasul Paulus membedakan Yesus sebagai Anak Allah yang diutus oleh Allah Bapa, sedang kita adalah anak yang ‘diangkat’ karena ditebus oleh Kristus Anak-Nya yang Tunggal.
Jadi, kita adalah anak-anak angkat Allah di dalam Kristus (Ef 1:5), karena kita baru dapat disebut anak-anak Allah, jika kita mempunyai hidup ilahi yang diberikan oleh Kristus kepada kita, yaitu jika kita menerima Roh Kudus-Nya (lih. Rom 8:11). Hidup ilahi oleh Roh Kudus ini tidak terputuskan, sebab justru Roh Kudus itulah yang menjadikan Yesus, yang menjadi janin dalam rahim Bunda Maria, sebagai Anak Allah yang menjelma menjadi manusia.
Gereja Katolik memang mengajarkan bahwa ketika lahir di dunia, Yesus Kristus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh manusia. Ini adalah sesuatu misteri yang tidak akan pernah lagi terulangi terjadi dalam sejarah manusia, bahwa seseorang Pribadi adalah sungguh- sungguh Allah dan sungguh- sungguh manusia. Memang justru karena keunikan-Nya itu, di sepanjang sejarah banyak orang berusaha menyederhanakannya, namun malah akhirnya tidak konsisten dengan ajaran Alkitab itu sendiri.

Communicatio Idiomatum dalam diri Yesus

Maka berdasarkan penjelasan di atas, Gereja Katolik mengajarkan,  dalam satu Pribadi Yesus terdapat dua kodrat yaitu Allah dan manusia, sehingga terdapat predikat-predikat yang dapat ditujukan kepada kedua kodrat itu yang ditujukan pada satu Pribadi Yesus.  Predikat-predikat yang sesuai dengan kedua kodrat ini yang ditujukan pada satu Pribadi Yesus dalam Teologi disebut sebagai “Communicatio Idiomatum.” Ini kita lihat jelas dalam ayat-ayat Alkitab, sebagai berikut:
1. Mi 5:1: Mesias adalah seorang yang akan lahir di Betlehem (kemanusiaan Kristus) yang permulaannya sudah sejak purbakala (ke-Allahan Kristus).
2. Yes 9:5: Seorang anak laki-laki akan lahir (kemanusiaan Kristus) yang akan disebut sebagai Allah yang perkasa (ke-Allahan Kristus).
3. Yoh 8:58: Yesus berkata (dalam kemanusiaannya), bahwa sebelum Abraham jadi, Aku ada (ke-Allahan Kristus).
4. Yoh 14:6: Yesus berkata, “Aku adalah jalan (mengacu kepada kemanusiaan-Nya), Kebenaran dan Hidup” (mengacu kepada ke-Allahan-Nya).
5. Fil 2:5-11: Allah mengambil rupa seorang hamba, menjadi manusia dan wafat di kayu salib (kemanusiaan dan ke-Allahan Kristus).
6. 1 Kor 2:8, dikatakan “…kalau sekiranya mereka [penguasa dunia] mengenal-Nya, mereka tidak akan menyalibkan Tuhan yang mulia.” Kristus adalah Tuhan yang mulia dalam ke-Allahan-Nya, yang disalibkan dalam kemanusiaan-Nya. Jika dikatakan dalam Injil, “Yesus mati”, maka yang dikatakan mati di sini adalah Yesus dalam seluruh kepribadiaan-Nya, yang adalah Tuhan dan manusia. Memang secara hakekat, Tuhan tidak bisa mati, namun dalam Pribadi Yesus terdapat juga kodrat manusia selain dari kodrat Tuhan, maka Yesus dapat mati. Namun justru karena hakekat/ kodrat Yesus sebagai Allah, maka Ia dapat bangkit dari kematian-Nya, dan ini menjadi mukjizat yang terbesar yang dilakukan oleh-Nya (Mat 28:1-10; Mk 16:1-8; Luk 24:1-12; Yoh 20:1-10).

Heresi sepanjang sejarah Gereja dan tanggapan para Bapa Gereja

Berikut ini adalah ajaran-ajaran sesat yang yang terjadi di sepanjang sejarah Gereja yang berusaha menyederhanakan misteri ke-Allahan dan kemanusiaan Yesus berserta dengan tanggapan dari para Bapa Gereja untuk ‘meluruskannya’, yang jika diringkas demikian:
1. Docetism, Gnosticism, Manichaeism (abad ke- 1-3): menolak kemanusiaan Yesus: Penderitaan Yesus di salib dianggap sebagai “kepura-puraan”/ sham bukan sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi.
Tanggapan para Bapa Gereja:
St. Ignatius dari Antiokhia (35- 110), “Hanya ada satu Tabib yang aktif dalam tubuh dan jiwa…. Tuhan di dalam manusia, hidup sejati dalam kematian, putera Maria dan Putera Allah, yang pertama [sebagai putera Maria] dapat menderita, sedang yang kemudian [ sebagai Putera Allah] tidak dapat menderita, Yesus Kristus, Tuhan kita.”[4]. Kesaksian St. Ignatius adalah sangat penting, karena ia adalah murid rasul Yohanes, yang adalah murid yang dikasihi oleh Yesus.
St. Cyril dari Yerusalem (313-386), “Maka percayalah kepada Putera Tunggal Allah yang demi menebus dosa kita turun ke dunia, dan mengambil bagi-Nya kodrat manusia seperti kita, dan dilahirkan oleh Perawan Maria dan dari Roh Kudus, dan menjadi manusia, tidak hanya kelihatannya saja atau hanya seperti sandiwara/ “show“, melainkan sungguh-sungguh terjadi; tidak hanya sekedar lewat melalui Perawan Maria seperti melalui sebuah saluran; tetapi daripadanya dibuat menjadi sungguh-sungguh daging, dan [Ia] makan dan minum seperti kita. Sebab jika Inkarnasi hanya sebuah bayangan, maka keselamatan kita hanyalah sebuah bayangan juga. Kristus terdiri dari dua kodrat, Manusia di dalam apa yang terlihat, namun [juga] Tuhan di dalam apa yang tak terlihat. Sebagai manusia [Ia] sungguh-sungguh makan seperti kita,…. namun sebagai Tuhan [Ia] memberi makan lima ribu orang dari lima buah roti (Mat 14:17- dst).[5]
2. Adoptionism (abad ke- 2 dan 3) menolak ke-Allahan Kristus. Kristus dianggap sebagai anak adopsi Allah Bapa, namun sebagai anak yang terbesar.
Tanggapan para Bapa Gereja:
Tertullian (160- 220) dalam menjelaskan Inkarnasi berkata, “Kita melihat dengan jelas dua hal yang menjadi satu, yang tidak tercampur baur, tetapi yang disatukan di dalam satu Pribadi, Yesus Kristus, Tuhan dan manusia …. Kedua kodrat ini bertindak berbeda sesuai dengan karakternya masing-masing, ….”[6]
St. Thomas Aquinas (1225- 1274): “Ada orang-orang, seperti Ebion dan Cerinthus, dan kemudian Paul Samosata dan Photius yang mengakui kemanusiaan Yesus saja. Tetapi, ke-Allahan ada di dalam Dia… dengan semacam partisipasi yang istimewa terhadap kemuliaan ilahi… Pandangan ini [Adoptionism] merusak misteri Inkarnasi, karena menurut pandangan ini, Tuhan tidak mungkin mengambil daging untuk menjadi manusia, tetapi seorang manusia yang kemudian menjadi Allah.”[7] Heresi ini [Adoptionism] seolah berkata, “manusia dibuat menjadi Firman” daripada “Firman itu menjadi manusia” (Yoh 1:14). “Jika Kristus bukan sungguh-sungguh Tuhan, bagaimana kita mengartikan perkataan St. Paul, “Ia mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba?” (Flp 2: 6-7, 9).[8]
3. Arianism (abad ke 3 -4) menolak Allah Tritunggal. Kristus dianggap bukan Tuhan, namun sebagai malaikat yang tertinggi (super-angel). Lebih lanjut tentang heresi Arianism ini, silakan klik di sini.
Heresi ini diluruskan oleh:
St. Athanasius (296-373), “Putera Allah ada di dalam Allah Bapa …. Bapa ada di dalam Putera. Mereka adalah satu, tidak terbagi menjadi dua, tetapi mereka [dikatakan] dua karena Bapa adalah Bapa dan bukan Putera, demikian sebaliknya; dan kodrat mereka [Bapa dan Putera] adalah satu. Allah Putera adalah Tuhan, dalam satu hakekat (homo- ousios) dengan Allah Bapa. Jika Allah Putera mempunyai awal (artinya diciptakan oleh Bapa), maka terdapat suatu waktu di mana Allah tidak mempunyai Sabda atau Kebijaksanaan yang adalah cahaya kemuliaan-Nya (Ibr 1:3); ini bertentangan dengan wahyu Allah maupun akal sehat. Karena Bapa itu tetap selamanya, maka Sabda-Nya dan Kebijaksanaan-Nya pasti juga tetap selamanya.”[9]
St. Gregorius Nazianzen (328-389), “…Putera Allah berkenan untuk menjadi dan dipanggil sebagai Anak Manusia, tidak karena Ia mengubah Diri-Nya (karena Ia tidak dapat berubah); tetapi dengan mengambil bagi diri-Nya sesuatu yang bukan Dia (yaitu manusia, sebab Ia penuh dengan kasih kepada manusia), sehingga Yang tak terpahami menjadi dapat dipahami…. Maka Yang tak dapat tercampur menjadi tercampur, Roh dengan daging, Kekekalan dengan waktu,…. Ia yang tak dapat menderita menjadi dapat menderita, yang Kekal dapat menjadi mati. Karena Iblis ….setelah ia menipu kita dengan harapan agar kita menjadi tuhan, ia mendapatkan dirinya sendiri tertipu oleh penjelmaan Tuhan dalam kodrat manusia; sehingga dengan menipu Adam… Ia harus berhadapan dengan Tuhan, maka Adam yang baru [Yesus Kristus] menyelamatkan Adam yang lama…..”
Konsili Nicea (325) yang menghasilkan Credo Nicea: Kristus adalah “sehakekat dengan Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar.”

4. Apollinarism (abad ke-4) yang menolak kemanusiaan Yesus dengan mengajarkan bahwa Yesus tidak mempunyai jiwa manusia; ke-Allahan-Nya menggantikan jiwa manusia itu.
Tanggapan para Bapa Gereja:
St Athanasius, St. Basil, St. Gregorius Nazianzen dan St. Gregorius dari Nissa (abad ke-4) yang mengajarkan, bahwa kalau Kristus tidak mempunyai jiwa manusia, maka Ia bukan sungguh-sungguh manusia. Jika Kristus tidak mengangkat/ mengambil baginya jiwa manusia, Ia tidak dapat menebus jiwa manusia.
Konsili Konstantinopel (381) dan Sinode Uskup di Roma (382): Sabda Tuhan tidak menjadi daging untuk menggantikan jiwa manusia, melainkan untuk mengambilnya, menjaganya dari dosa dan untuk menyelamatkannya. Pengajaran Apollinaris dinyatakan sesat.

5. Nestorianism (abad ke-4-5) yang menolak keutuhan Pribadi Yesus. Maka Maria dilihat hanya sebagai ibu Yesus sebagai manusia, bukan ibu Yesus yang adalah Tuhan. Yesus dikatakan sebagai hanya “Temple of the Logos” dan bukannya “Logos“/ Sabda itu sendiri.
Tanggapan Bapa Gereja:
St. Cyril dari Alexandria (380-444) menjelaskan bahwa Maria adalah Bunda Allah sebab Kristus adalah Allah: “Saya heran akan pertanyaan yang menanyakan apakah Perawan Suci harus disebut sebagai Bunda Allah, sebab itu hampir sama dengan menanyakan apakah Puteranya Putera Allah atau bukan?”[10]. Ia mengambil baginya kodrat kemanusiaan secara penuh dari Bunda Maria supaya Ia dapat menderita dalam kemanusiaan-Nya bagi kita. “Ia memberikan tubuh-Nya untuk mati [bagi kita], meskipun secara kodrat-Nya [sebagai Allah] Ia adalah hidup dan kebangkitan.”[11] Kemudian dalam surat keduanya yang dibacakan dalam Konsili Efesus (431) St. Cyril mengajarkan, “Sang Sabda, setelah menyatukan secara hypostatik dalam Diri-Nya, daging yang dihidupi oleh jiwa manusia yang rasional, Ia menjadi manusia dan disebut sebagai Anak Manusia.” Dengan Inkarnasi, maka Putera Allah menjelma menjadi manusia dalam rahim Maria. Ini terjadi dalam saat yang berasamaan, sehingga bukan terjadi manusia terlebih dahulu, baru kemudian Sabda itu turun memenuhinya. Dengan demikian, maka Yesus dapat mengatakan bahwa kelahiran-Nya dalam daging itu sungguh-sungguh adalah kelahiran-Nya. “Maka para Bapa Gereja tidak segan-segan mengatakan bahwa Perawan Suci (Maria) adalah Bunda Allah.”[12]
Maka kita dapat mengatakan bahwa pada Yesus terjadi dua macam ‘kelahiran’, yang pertama adalah sebagai Allah, Ia lahir/ berasal dari Bapa sebelum segala abad, dan yang kedua, Ia lahir sebagai manusia melalui Bunda Maria.
6. Monophisitism (abad ke-5) yang menolak adanya kemanusiaan Kristus, dan adanya dua kodrat dalam diri Yesus (sebagai Allah dan manusia). Dikatakan oleh bidaah ini bahwa sebelum inkarnasi ada dua kodrat, namun setelah inkarnasi hanya satu, yaitu ke-Allahan-Nya.
Tanggapan para Bapa Gereja:
St. Leo Agung (440-461) dengan tulisannya yang terkenal, “Tome of Leo” mengajarkan, “Tanpa kehilangan sifat-sifat yang berkenaan dengan kodrat dan hakekatnya, di dalam Satu Pribadi, kemuliaan mengambil kerendahan, kekuatan mengambil kelemahan, kekekalan mengambil kematian, dan untuk membayar hutang yang menjadi kondisi kita, kodrat yang tidak bisa berubah disatukan dengan kodrat yang bisa berubah, sehingga untuk memenuhi kepentingan kita, satu Pengantara kita antara Allah dan manusia, [yaitu] Manusia Yesus Kristus, dapat mati dengan kodrat-Nya sebagai manusia, namun tidak dapat mati dengan kodrat-Nya sebagai Allah. Maka Allah yang benar sungguh lahir di dalam keseluruhan dan kesempurnaan kodrat manusia, lengkap di dalam segala sesuatunya sebagai Allah, dan lengkap di dalam segala sesuatunya sebagai manusia….. Dia mengambil rupa seorang hamba tanpa noda dosa, Ia menaikkan kodrat manusia, tanpa mengurangi kodrat ke-Allahan-Nya: sebab pengosongan Dirinya adalah dengan membuat Yang tak kelihatan menjadi kelihatan, Pencipta dan Tuhan atas segala sesuatu mau menjadi mahluk ciptaan, adalah perendahan Diri bukan karena kegagalan kuat kuasa-Nya namun karena pernyataan belas kasihan-Nya…Kedua kodrat [ke- Allahan dan ke-manusiaan-Nya] tetap mempertahankan karakter yang sesuai tanpa menghilangkan satu sama lain…. ke-AllahanNya tidak menghapuskan karakter hamba, ke-hamba-anNya tidak mengurangi karakter ke-Allahan-Nya…Di dalam kelahiran-Nya yang baru [sebagai manusia] … Ia yang tidak kelihatan dibuat menjadi kelihatan… Allah semesta alam mengambil rupa seorang hamba, menyembunyikan kemuliaan-Nya yang besarnya tak terhingga, … Ia yang kekal tidak segan untuk tunduk di bawah hukum kematian…. Sebab setiap kodrat melakukan apa yang sesuai dengan kodratnya dengan keterlibatan yang timbal balik dari kodrat lainnya…. Kodrat yang satu [ke-Allahan] berkilau dengan mukjizat-mukjizat, kodrat yang lain [kemanusiaan] jatuh dalam luka-luka. Seperti Sabda yang tidak menarik diri dari kesetaraan-Nya dengan Allah Bapa yang mulia, maka tubuh-Nya juga tidak membuang kodrat-Nya sebagai manusia. Sebab (dan ini harus disebut lagi dan lagi) Pribadi yang satu dan sama itu adalah sungguh Putera Allah dan sungguh Putera manusia.[13]
Konsili Chalcedon (451):
“…. Bahwa Sang Putera, Tuhan Yesus Kristus kita, adalah satu dan sama, sama sempurna di dalam Ke-Allahan-Nya dan sama sempurna di dalam kemanusiaan-Nya, sungguh Allah, sungguh manusia, mempunyai jiwa manusia yang rasional dan sebuah tubuh, sehakekat dengan Bapa di dalam ke-Allahan dan sehakekat dengan kita di dalam kemanusiaan, ‘sama dengan kita dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa’ (Ibr 4:15), berasal dari Bapa sebelum segala abad dalam kodrat ke-Allahan-Nya, lahir di dalam waktu bagi kita dan bagi keselamatan kita dari Perawan Maria, Bunda Allah, dalam kodrat kemanusiaan-Nya. Kita mengakui Kristus yang satu dan sama, Sang Putera, Tuhan, yang Tunggal, di dalam dua kodrat, tanpa tercampur baur, tanpa perubahan, tidak dapat dibagi-bagi dan dipisahkan. Perbedaan kodrat tidak pernah dihapuskan dengan persatuannya, melainkan sifat-sifat dari kedua kodrat itu yang tetap tidak terganggu, keduanya bersama-sama membentuk satu Pribadi dan hakekat (hypostasis), tidak terbagi menjadi dua pribadi, tetapi di dalam Putera Tunggal yang satu dan sama, Sabda Ilahi, Tuhan Yesus Kristus….”

7. Monothelitism (abad ke-7) yang menolak kemanusiaan Yesus dengan mengatakan bahwa di dalam diri Yesus hanya ada satu keinginan dan satu prinsip tingkah laku/ operasi, yaitu yang dari Allah saja.

Tanggapan Bapa Gereja:
St. Paus Agatho (678-681), “…”Sebab kami menolak penghujatan yang membagi-bagi dan yang mencampuradukkan [kedua kodrat dalam Diri Yesus]…. Karena Tuhan Yesus Kristus yang sama mempunyai dua kodrat, maka Ia juga mempunyai dua keinginan dan dua operasi, yaitu [menurut] Allah dan manusia: Keinginan dan operasi Ilahinya sesuai dengan hakekat Allah sepanjang segala abad: sedangkan kemanusiaan-Nya, Ia menerima dari kita, mengambil kodrat kita di dalam waktu…. Sesudah Inkarnasi-Nya, maka ke-Allahan-Nya tidak dapat dipikirkan tanpa kemanusiaan-Nya dan kemanusiaan-Nya tanpa ke-Allahan-Nya.
Konsili Lateran (649):
Cann. 10- 11 mengajarkan bahwa Yesus mempunyai dua kehendak dan operasi [Allah dan manusia] yang disatukan secara terus menerus, dan bahwa melalui kehendak bebas-Nya dan operasi-Nya itulah Ia mengerjakan keselamatan kita.
Konsili Konstantinopel III (680-681):
“Dan kami menyatakan adanya dua keinginan di dalam Dia, dan dua prinsip operasi tindakan yang tidak mengalami pembagian, perubahan, keterpisahan, pencampur-adukkan sesuai dengan pengajaran para Bapa Gereja. Dan kedua keinginan tersebut tidak dalam pertentangan, seperti yang dikatakan oleh para bidat, … tetapi keinginan manusia-Nya mengikuti dan tidak menahan ataupun berebut, melainkan taat kepada keinginan Ilahi yang mahakuasa.”
8. Agnoetae (abad ke-6) yang menolak kepenuhan pengetahuan Yesus sebagai manusia sebagai akibat dari persekutuannya dengan Allah (sehubungan dengan akhir jaman Mrk 13:32). Mengenai hal ini sudah pernah saya tuliskan di sini, silakan klik.

Tanggapan Bapa Gereja:
St. Paus Gregorius Agung (540-604):
“Allah Putera yang Mahatahu mengatakan bahwa Ia tidak tahu harinya [akhir jaman, sehingga] Ia tidak menyatakannya, bukan disebabkan oleh sebab Ia sendiri tidak tahu, tetapi karena Ia tidak mengizinkan hal tersebut diketahui sama sekali…. Putera Tunggal Allah yang menjelma menjadi manusia yang sempurna untuk kita, pasti mengetahui hari dan saatnya Penghakiman Terakhir di dalam diriNya sebagai manusia, namun demikian Ia tidak mengetahui hal itu dari kapasitasnya sebagai manusia…. Sebab untuk maksud apa bahwa Ia yang menyatakan DiriNya sebagai Kebijaksanaan Allah yang menjelma, jika ada sesuatu yang tidak diketahui olehNya sebagai Kebijaksanaan Allah? … Juga tertulis bahwa, …. Allah Bapa menyerahkan segala sesuatu ke dalam tanganNya [Yesus Kristus di dalam Yoh 13:3]. Jika disebutkan segala sesuatu, tentu termasuk hari dan saat Penghakiman Terakhir. Siapa yang begitu naif untuk mengatakan bahwa Allah Putera menerima di dalam tangan-Nya sesuatu yang tidak diketahui olehNya?”
St. Maximus (580-662):
Jika para nabi saja dapat mengetahui hal- hal di masa depan yang akan terjadi, betapa lebih lagi Kristus dapat mengetahui semua itu melalui kesatuan-Nya dengan Sang Sabda.[14]

Tanggapan Gereja Katolik terhadap Protestant Kenotic Christology

Sedangkan untuk menanggapi Kristologi Kenotik menurut Protestant, Paus Pius XII dalam memperingati Konsili Chalcedon yang ke 1500, menulis surat ensiklik Sempiternus Rex pada tahun 1951, yang menolak penyalah-artian ayat Filipi 2:7 pada mereka yang berpikir bahwa tidak ada keilahian di dalam Sabda yang menjadi manusia dalam diri Kristus. Menurut Bapa Paus, ini adalah maksud yang keliru, seperti halnya heresi Docetism yang mengklaim sebaliknya (yaitu yang mengecam kemanusiaan Yesus). Ini mengurangi keseluruhan misteri Inkarnasi dan Penebusan ….. Selanjutnya Bapa Paus menegaskan kembali apa yang telah ditetapkan di dalam The Tome of Leo, “Ia yang sungguh-sungguh Allah telah lahir, lengkap di dalam ke-Allahan-Nya, dan lengkap di dalam kemanusiaan-Nya.”[15]

Kesimpulan

Dengan mempelajari dan merenungkan ayat- ayat Alkitab dan juga tulisan para Bapa Gereja, sesungguhnya kita dapat melihat secara obyektif bahwa sejak dari awal sesungguhnya iman para rasul dan para Bapa Gereja adalah: dalam Diri Yesus, Putera Allah yang menjelma menjadi manusia, terdapat dua kodrat yaitu Allah dan manusia. Sehingga Yesus Kristus dalam hidupnya di dunia adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Jadi anggapan yang mengatakan bahwa Yesus hanya manusia biasa ketika hidup selama 33.5 tahun di dunia (pandangan Kenotik Protestan) sebenarnya merupakan ajaran yang dipelopori oleh Martin Luther, namun ajaran ini tidak pernah diajarkan oleh para rasul dan para Bapa Gereja. Martin Luther mengajarkan Fil 2:7 dengan melepaskan konteksnya dengan ayat-ayat lainnya di Alkitab, atau tepatnya menggabungkan dengan beberapa ayat lainnya yang kelihatannya mendukung pendapatnya dan menginterpretasikannya kemudian bahwa Putera Allah berhenti menjadi Allah selama 33.5 tahun sewaktu Yesus hidup di dunia.
Sesungguhnya kenyataan ini layak membuat kita semua merenung dan menyadari bahwa dengan merenungkan Alkitab saja, tanpa membaca pengajaran para rasul dan Bapa Gereja dapat menghantar kita pada kesimpulan yang keliru, yang tidak saja tidak sesuai dengan ayat-ayat Alkitab lainnya, namun juga tak sesuai dengan akal sehat. Namun tentu saja, kita tak bisa memaksakan apa yang menjadi ajaran Gereja Katolik kepada mereka yang tidak dapat atau tidak mau menerimanya. Hanya mereka yang mencari kebenaran dan memiliki keterbukaan akan pimpinan Roh Kudus, akan melihat kebenaran dari ajaran para Bapa Gereja yang dijaga dengan setia oleh Magisterium Gereja Katolik.
Memang jika seseorang menutup mata terhadap kenyataan sejarah dan pengajaran para Bapa Gereja, ia dapat menginterpretasikan suatu ayat, sesuai dengan pengertiannya sendiri. Atau bahkan dengan berani mengatakan bahwa yang paling benar adalah pengertiannya sendiri dan semua pengertian para Bapa Gereja (dan bahkan para rasul) itu keliru semua. Jika kita pernah berpikir demikian, mungkin ada baiknya kita menilik ke dalam batin kita, dan mohon kepada Roh Kudus karunia kerendahan hati, untuk jujur melihat ke dalam diri kita. Semoga kita dapat melihat begitu banyaknya keterbatasan yang kita miliki dalam pemahaman Alkitab, dan justru karena itu, kita perlu dengan rendah hati mempelajari dan melihat dengan hati terbuka terhadap semua pengajaran yang diberikan oleh orang- orang yang lebih mendalami Sabda Tuhan daripada kita. Dan semoga kita dapat dengan lapang hati melihat bahwa mereka yang paling mengenal Pribadi Yesus adalah mereka yang pernah hidup, makan, berjalan bersama Yesus, yaitu Bunda Maria Santo Yusuf dan dan para rasul.
Pengajaran para rasul itulah yang diteruskan oleh para Bapa Gereja dan Magisterim Gereja Katolik dengan setia, dan jika kita ingin mengenal dan mengasihi Kristus, maka sudah selayaknya kita belajar dari mereka. Jika mereka mengajarkan bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia sewaktu hidup-Nya di dunia, maka siapakah kita untuk mengatakan sesuatu yang lain daripada itu?
Ya, Tuhan, bimbinglah kami untuk memahami misteri kasih-Mu dalam diri Yesus yang adalah Allah dan manusia. Karuniakanlah kepada kami kerendahan hati untuk menerima pengajaran-Mu, walaupun belum sepenuhnya dapat kami pahami dengan sempurna. Semoga Roh Kudus-Mu memimpin kami agar kami dapat dengan lapang menerima kebenaran yang Kau-nyatakan melalui Sabda-Mu, pengajaran para rasul dan para penerus mereka. Biarlah kasih kami kepada-Mu mengatasi pengertian pribadi kami; dan dengan kasih ini Engkau membimbing kami kepada seluruh Kebenaran.
Amin
.”
-St. Athanasius (296-373): The Son is in the Father…the Father is in the Son. They are one, not divided into two, yet they are two for the Father is the Father, not the Son and vice versa; and their nature is one. The Son is God, in one essence (homo-ousios) with the Father. If the Son had a beginning, there would have been the time when God had no Wisdom, no Word and Life!
-St Basil, Gregory Nazianzen, Gregory of Nyssa (4th C): distinction between essence and person: God is one essence and three Persons.
Council of Nicea 325 (called by Constantine): established Nicene Creed:
Christ is consubstantial with the Father, God from God, light from light, true God from true God.
Council of Constantinople I 359: affirmed the Nicene creed. This council expanded the article of the creed dealing with the Holy Spirit, as “the Lord, the Giver of Life, Who proceeds from the Father, With the Father and the Son he is worshipped and glorified”. Like the Son, the Holy Spirit is of the same essence/ousia as God the Father.

CATATAN KAKI:
  1. Lihat George D Smith, D.D, PhD. ed., The Teaching of the Catholic Church, A Summary of Catholic Doctrine, (New York: The Macmillan Company, 1960) p. 361 []
  2. Lihat De libertate christiana (Weimar, 1883), vol. 7, p.65 []
  3. Denz. 148; DS 301-2 []
  4. St. Ignatius dari Antiokhia, Surat kepada jemaat di Efesus, Bab 3 []
  5. St. Cyril dari Yerusalem, Cathecheses, No. 4:9 []
  6. Tertullian, Adversus Praxean, bab 27 []
  7. St. Thomas Aquinas, Summa contra gentiles, ch. 28, nos. 2-5. Trans. by Charles J. O’Neil []
  8. Ibid. []
  9. St. Athanasius, Four Discourses Against the Arians, n.3:3, 4, in NPNF, 4:395 []
  10. St. Cyril of Alexandria, Epistle 1,4 []
  11. Lihat St. Cyril of Alexandria, First Letter to Nestorius, trans. Henry Percival, in Nicene and Post Nicene Fathers, 14: 201-205 []
  12. D 111, St. Cyril of Alexandria, Second Letter to Nestorius, Ibid. []
  13. Denz 143-144 []
  14. Lihat Quaestiones et dubia 66 (I, 67), PG 90: 840 []
  15. Lihat Ep. xxviii,3. PL 54: 763. Cf. Serm. xxiii, 2. PL 56:201 []

Saksi Yehuwa bukanlah saksi Kristus

Pendahuluan Ketika, saya tinggal di Jakarta, suatu hari saya mendengar ketukan pintu rumah. Dan ternyata yang datang berkunjung adalah dua orang wanita, yang tersenyum ramah, serta mengatakan ingin bersaksi tentang kebaikan Allah. Tentu saja saya menyambut baik kedatangan mereka. Mereka memperkenalkan diri mereka, bahwa mereka adalah anggota Saksi Yehova. Dan seperti biasa yang pernah saya dengar, mereka mulai mempertanyakan keadaan dunia ini yang terlihat menyedihkan dengan begitu banyak penderitaan dan kejahatan. Mereka telah mempersiapkan brosur yang berisi kegiatan dan pengajaran dari Saksi Yehovah, termasuk mendiskusikan bahwa Yesus bukanlah Tuhan. Ini sungguh menyedihkan, namun di dalam hati, saya sungguh memuji kesungguhan hati mereka untuk mewartakan ajaran-ajaran yang dipercaya oleh kelompok Saksi Yehovah ini. Di sisi yang lain, saya merasa bahwa pewartaan yang tidak mewartakan kebenaran secara penuh, atau malah bertentangan dengan kebenaran, bukanlah pewartaan Kabar Gembira yang sejati. Mewartakan dimensi manusia dari Kristus tanpa mewartakan dimensi Ilahi-Nya adalah tidak lengkap dan bertentangan dengan kebenaran. Hal ini juga diperparah dengan ajaran lain yang menyimpang dari akal budi, prinsip keadilan, dan Alkitab, seperti ajaran tentang: tujuan akhir manusia, konsep antropologi yang salah, dll. Dalam tulisan ini, kita akan melihat sejarah berdirinya sekte ini, pengajaran mereka, dan memaparkan bahwa beberapa prinsip ajaran mereka adalah tidak benar. Tentang Saksi Yehova Pada tahun 1872, Charles Taze Russell (1852-1916) mendirikan satu sekte yang dinamakan Saksi Yehova atau Saksi Yehuwa (Jehovah’s witnesses). Charles T. Russell mempunyai latar belakang aliran Protestan (Congregationalism), dan kemudian dia mengikuti aliran Adventisme (Adventism), sebelum akhirnya mendirikan the Watchtower Bible and Tract Society, yang mengontrol perkembangan dan pengajaran dari Saksi Yehova, yang berpusat di Brooklyn, USA. Dari latar belakang ini, maka dapat dimengerti kalau beberapa doktrin yang dianutnya adalah dari Protestan dan juga dari Adventisme.[1] Beberapa doktrin Protestan yang dianut oleh Saksi Yehova adalah: penolakan terhadap beberapa pengajaran Katolik, seperti Sakramen Ekaristi, Sakramen Tobat, Api Penyucian, Perantaraan Para Kudus, dll. Silakan melihat beberapa artikel bagaimana mempertanggung-jawabkan iman Katolik di topik apologetik (silakan klik) dan di beberapa artikel dan arsip tanya jawab apologetik Kristen (silakan klik). Pengaruh dari Adventisme dapat terlihat dari beberapa ajaran Saksi Yehuwa, seperti akhir jaman, Roh Kudus bukan pribadi, Yesus bukan Tuhan namun Malaikat Mikael – yang lebih rendah dari Allah, dll. Mari sekarang kita membahas beberapa pengajaran pokok dari Saksi Yehuwa yang sebenarnya bertentangan dengan Kitab Suci, akal budi, dan prinsip keadilan. Mempercayai Yesus bukanlah Tuhan adalah bertentangan dengan kodrat Yesus, yang sungguh Allah dan sungguh manusia. Mempercayai Yesus adalah penghulu malaikat Mikael adalah menempatkan Pencipta menjadi ciptaan. Beberapa ramalan tentang akhir dunia yang terbukti gagal membuktikan bahwa nubuat tersebut bukan dari Allah. Hanya 144,000 orang yang dipercaya berada di Sorga tidak masuk akal dan tidak Alkitabiah. Dua tipe kebahagiaan manusia – kebahagiaan Sorga dan dunia – adalah seperti sistem kasta, bertentangan dengan prinsip keadilan dan tidak Alkitabiah. Pengajaran bahwa jiwa manusia tidak bersifat kekal menyalahi prinsip akal budi dan Alkitab. Pengajaran bahwa tidak ada neraka yang kekal menyalahi prinsip keadilan dan Alkitab. 1. Mempercayai Yesus bukanlah Tuhan adalah bertentangan dengan kodrat Yesus, yang sungguh Allah dan sungguh manusia. Salah satu pengajaran dari Saksi Yehuwa yang sungguh berbeda dibandingkan dengan pengajaran agama Kristen adalah mereka tidak mempercayai bahwa Yesus adalah Tuhan. Bagi mereka Tuhan adalah Yehuwa, dan bukan Trinitas – Satu Tuhan dalam tiga pribadi. Kalau ditelusuri, sebenarnya ajaran ini telah diajarkan oleh Arius, yang pada tahun 318 mengajarkan bahwa Yesus bukanlah Tuhan. Dan para Bapa Gereja akhirnya dapat memusnahkan ajaran sesat ini pada tahun 325 melalui konsili Nicea, walaupun pengaruh ajaran Arius masih terus berlangsung sampai kurang lebih abad ke- 5. Di dalam kunjungan mereka ke rumah-rumah, biasanya, pada awalnya, mereka tidak terlalu membahas tentang identitas Yesus yang bukan Tuhan (dalam pengertian pribadi ke-2 dalam Trinitas). Mereka akan menceritakan tentang Yesus yang sungguh-sungguh memberikan jalan dan pengajaran yang begitu luar biasa kepada manusia, bahkan kadang-kadang mereka mengatakan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Namun, kalau ditanya lebih lanjut, apakah Yesus adalah Allah dalam pengertian Trinitas, Satu Allah dalam tiga pribadi, di mana Yesus adalah pribadi yang ke-dua, maka mereka akan mengatakan tidak. Saksi-saksi Yehuwa memberitakan setengah kebenaran, yaitu kemanusiaan Yesus, tanpa memberitakan kebenaran yang lain, yaitu ke-Allahan Yesus. Di dalam sejarah kekristenan, ajaran sesat yang berhubungan dengan kristologi, senantiasa menekankan sisi yang satu tanpa melihat sisi yang lain.[2] Untuk menjawab keberatan mereka tentang ke-Allah Yesus, maka silakan untuk membaca beberapa artikel tentang Kristologi yang telah ditulis oleh katolisitas.org: Iman Katolik bersumber pada Allah Tritunggal dan berpusat pada Kristus, Allah yang menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan kita. Inkarnasi, Allah menjadi manusia, adalah perbuatan Tuhan yang terbesar, yang menunjukkan segala kesempurnaanNya: KebesaranNya, namun juga KasihNya yang menyertai kita. Penjelmaan Allah ini telah dinubuatkan oleh para nabi. Yesus Kristus yang kita imani sekarang adalah sungguh Yesus Tuhan yang ber-inkarnasi dan masuk ke dalam sejarah manusia. Dan Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Berikut ini adalah beberapa pembuktian dari tulisan di atas, yang membuktikan bahwa Yesus adalah Tuhan. Pernyataan Yesus ini dilakukan dengan berbagai cara dan dalam berbagai kesempatan: Pertama-tama, ketika berusia 12 tahun dan Ia diketemukan di Bait Allah, Yesus mengatakan bahwa bait Allah adalah Rumah Bapa-Nya (lih. Luk 2:49). Dengan demikian, Yesus mengatakan bahwa Ia adalah Putera Allah. Pernyataan ini ditegaskan kembali oleh Allah Bapa pada saat Pembaptisan Yesus, saat terdengar suara dari langit, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan.”(Luk 3:22). Yesus adalah Tuhan yang mengatasi para malaikat. Setelah Dia mengatasi cobaan Iblis di padang gurun, para malaikat- pun datang melayani Dia (lih. Mat 3:11). Pada saat Yesus memulai pengajaranNya, terutama dalam Khotbah di Bukit (Delapan Sabda Bahagia), Ia berbicara di dalam nama-Nya sendiri, untuk menyatakan otoritas yang dimiliki-Nya (Mat 5:1-dst). Ini membuktikan bahwa Ia lebih tinggi dari Musa dan para nabi, sebab Musa berbicara dalam nama Tuhan (lih. Kel 19:7) ketika Ia memberikan hukum Sepuluh Perintah Allah; tetapi Yesus memberikan hukum dalam nama-Nya sendiri, “Aku berkata kepadamu….” Hal ini tertera sedikitnya 12 kali di dalam pengajaran Yesus di Mat 5 dan 6, dan dengan demikian Ia menegaskan DiriNya sebagai Pemberi Hukum Ilahi (the Divine Legislator) itu sendiri, yaitu Allah. Demikian pula dengan perkataan “Amen, amen…”, pada awal ajaranNya, Yesus menegaskan segala yang akan diucapkan-Nya sebagai perintah; bukan seperti orang biasa yang mengatakan ‘amen’ diakhir doanya sebagai tanda ‘setuju’. Jadi dengan demikian Yesus menyatakan bahwa Ia adalah Taurat Allah yang hidup, suatu peran yang sangat tinggi dan ilahi, sehingga menjadi batu sandungan bagi orang-orang Yahudi untuk mempercayai Yesus sebagai Sang Mesias. Hal ini dipegang oleh banyak orang Yahudi yang diceriterakan dengan begitu indah dalam buku Jesus of Nazareth, yaitu dalam percakapan imajiner seorang Rabi Yahudi dengan Rabi Neusner, mengenai bagaimana mencapai kesempurnaan hidup. Kesempurnaan inilah yang dimaksudkan oleh Yesus ketika Ia berbicara dengan orang muda yang kaya, “Jika engkau mau sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan bagikanlah kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat 19:21). “Aku” di sini hanya mungkin berarti Tuhan sendiri. Yesus menyatakan DiriNya sebagai Seorang yang dinantikan oleh para Nabi sepanjang abad (lih. Mat 13:17). Ia juga berkata,“…supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, … sampai Zakharia… semuanya ini akan ditanggungkan pada angkatan ini!” (Mat 23:34-36). Secara tidak langsung Ia mengatakan bahwa darah-Nya yang akan tertumpah dalam beberapa hari berikutnya merupakan rangkuman dari penumpahan darah orang yang tidak bersalah sepanjang segala abad. Yesus sebagai Tuhan juga terlihat dengan jelas dari segala mukjizat yang dilakukan dalam nama-Nya sendiri, yang menunjukkan bahwa kebesaran-Nya mengatasi segala sesuatu. Yesus menghentikan badai (Mat 8: 26; Mrk 4:39-41) menyembuhkan penyakit (Mat 8:1-16, 9:18-38, 14:36, 15: 29-31), memperbanyak roti untuk ribuan orang (Mat 14: 13-20; Mrk 6:30-44; Luk 9: 10-17; Yoh 6:1-13), mengusir setan (Mat 8:28-34), mengampuni dosa (Luk5:24; 7:48), dan membangkitkan orang mati (Luk 7:14; Yoh 11:39-44). Di atas semuanya itu, mukjizat-Nya yang terbesar adalah: Kebangkitan-Nya sendiri dari mati (Mat 28:9-10; Luk 24:5-7,34,36; Mrk 16:9; Yoh 20:11-29; 21:1-19). Pada saat Ia menyembuhkan orang yang lumpuh, Yesus menyatakan bahwa Ia memiliki kuasa untuk mengampuni dosa (Mat 9:2-8; Luk5:24), sehingga dengan demikian Ia menyatakan DiriNya sebagai Tuhan sebab hanya Tuhan yang dapat mengampuni dosa. Pada beberapa kesempatan, Yesus menyembuhkan para orang sakit pada hari Sabat, yang menimbulkan kedengkian orang-orang Yahudi. Namun dengan demikian, Yesus bermaksud untuk menyatakan bahwa Ia adalah lebih tinggi daripada hari Sabat (lih. Mat 12:8; Mrk 3:1-6). Yesus juga menyatakan Diri-Nya lebih tinggi dari nabi Yunus, Raja Salomo dan Bait Allah (lih. Mt 12:41-42; 12:6). Ini hanya dapat berarti bahwa Yesus adalah Allah, kepada siapa hari Sabat diadakan, dan untuk siapa Bait Allah dibangun. Yesus menyatakan Diri-Nya sebagai Tuhan, dengan berkata “Aku adalah… (I am)” yang mengacu pada perkataan Allah kepada nabi Musa pada semak yang berapi, “Aku adalah Aku, I am who I am” (lih. Kel 3:14): Pada Injil Yohanes, Yesus mengatakan “Aku adalah….” sebanyak tujuh kali: Yesus menyatakan Dirinya sebagai Roti Hidup yang turun dari Surga (Yoh 6:35), Terang Dunia (Yoh 8:12), Pintu yang melaluinya orang diselamatkan (Yoh 10:9), Gembala yang Baik yang menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya (Yoh 10:10), Kebangkitan dan Hidup (Yoh 11:25), Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Yoh 14:6), Pokok Anggur yang benar (Yoh 15:1). Yesus menyatakan diri-Nya sebagai sumber air hidup yang akan menjadi mata air di dalam diri manusia, yang terus memancar sampai ke hidup yang kekal (Yoh 4:14). Dengan demikian Yesus menyatakan diri-Nya sebagai sumber rahmat; hal ini tidak mungkin jika Yesus bukan Tuhan, sebab manusia biasa tidak mungkin dapat menyatakan diri sebagai sumber rahmat bagi semua orang. Yesus menyatakan, “Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6); dan dengan demikian Ia menempatkan diri sebagai Pengantara yang mutlak bagi seseorang untuk sampai kepada Allah Bapa. Ia menyatakan bahwa “… kamu akan mati dalam dosamu… jika kamu tidak percaya bahwa Akulah Dia” (Yoh 8:24) yang datang dari Bapa di surga (lih. Yoh 21-29). Yesus mengatakan, “Aku ini (It is I)…”, pada saat Ia berjalan di atas air (Yoh 6:20) dan meredakan badai. Yesus mengatakan, “Akulah Dia,” pada saat Ia ditangkap di Getsemani. Ketika Yesus diadili di hadapan orang Farisi, dan mereka mempertanyakan apakah Ia adalah Mesias Putera Allah, Yesus mengatakan, “Kamu sendiri mengatakan, bahwa Akulah Anak Allah.” Mungkin yang paling jelas adalah pada saat Yesus menyatakan keberadaan DiriNya sebelum Abraham, “…sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” (Yoh 8:58) Dengan demikian, Yesus menyatakan DiriNya sudah ada sebelum segala sesuatunya dijadikan. Dan ini hanya mungkin jika Yesus sungguh-sungguh Tuhan. Mengenai keberadaan Yesus sejak awal mula dunia dinyatakan oleh Yesus sendiri di dalam doa-Nya sebelum sengsara-Nya, “Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada.” (Yoh 17:5) Dengan keberadaan Yesus yang mengatasi segala sesuatu, dan atas semua manusia, maka Ia mensyaratkan kesetiaan agar diberikan kepadaNya dari semua orang. “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:37). Ia kemudian berkata bahwa apa yang kita lakukan terhadap saudara kita yang paling hina, itu kita lakukan terhadap Dia (lih. 25:40). Ini hanya dapat terjadi kalau Yesus adalah Tuhan yang mengatasi semua orang, sehingga Dia dapat hadir di dalam diri setiap orang, dan Ia layak dihormati di atas semua orang, bahkan di atas orang tua kita sendiri. Yesus menghendaki kita percaya kepada-Nya seperti kita percaya kepada Allah (lih. Yoh 14:1), dan Ia menjanjikan tempat di surga bagi kita yang percaya. Dengan demikian Ia menyatakan diriNya sebagai yang setara dengan Allah Bapa, “Siapa yang melihat Aku, melihat Bapa, (Yoh 14:9), Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa (Yoh 10:38). Tidak ada seorangpun yang mengenal Anak selain Bapa, dan mengenal Bapa selain Anak (lih. Mat 11:27). Yesus juga menyatakan DiriNya di dalam kesatuan dengan Allah Bapa saat mendoakan para muridNya dan semua orang percaya, ”… agar mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau…” (Yoh 17:21). Ini hanya mungkin jika Ia sungguh-sungguh Tuhan. Pernyataan Yesus ini berbeda dengan para pemimpin agama lain, seperti Muhammad dan Buddha, sebab mereka tidak pernah menyatakan diri mereka sendiri sebagai Tuhan. Ketika Yesus menampakkan diri kepada para murid setelah kebangkitan-Nya, Thomas, Rasul yang awalnya tidak percaya menyaksikan sendiri bahwa Yesus sungguh hidup dan ia berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku”. Mendengar hal ini, Yesus tidak menyanggahnya (ini menunjukkan bahwa Ia sungguh Allah), melainkan Ia menegaskan pernyataan ini dengan seruanNya agar kita percaya kepadaNya meskipun kita tidak melihat Dia (Yoh 20: 28-29). Yesus menyatakan Diri sebagai Tuhan, dengan menyatakan diriNya sebagai Anak Manusia, yang akan menghakimi semua manusia pada akhir jaman (lih. Mat 24:30-31), sebab segala kuasa di Surga dan di dunia telah diberikan kepada-Nya, seperti yang dikatakanNya sebelum Ia naik ke surga, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus…” (Mat 28:18). Dengan demikian, Yesus menyatakan diriNya sebagai Pribadi Kedua di dalam Allah Tritunggal Maha Kudus, dan dengan kuasaNya sebagai Allah ini maka ia akan menghakimi semua manusia di akhir dunia nanti, seperti yang dinubuatkan oleh nabi Daniel (Dan 7:13-14). Yesus tidak mungkin membuat pernyataan sedemikian, jika Ia bukan sungguh-sungguh Tuhan. 2. Mempercayai Yesus adalah penghulu malaikat Mikael adalah menjadikan Pencipta menjadi seorang ciptaan. Kalau bukan Tuhan, bagaimana Saksi Yehuwa mempercayai Yesus? Mereka mempercayai bahwa Yesus, Adam ke-dua, adalah penghulu malaikat Mikael.[3] Ajaran ini kalau ditelurusi merupakan suatu modifikasi dari ajaran agama gereja Mormon, yang percaya bahwa malaikat Mikael adalah Adam[4] Kalau kita dapat membuktikan bahwa Yesus adalah Tuhan, maka ajaran bahwa Yesus adalah malaikat Mikael adalah tidak mempunyai dasar. Oleh karena itu, silakan melihat beberapa artikel Kristologi dan argumentasi di atas. Kalau Yesus adalah Tuhan, maka tidak mungkin dia berhenti menjadi Tuhan, dan kemudian menjadi malaikat, mahluk yang diciptakan. 3. Beberapa ramalan tentang akhir dunia yang terbukti gagal membuktikan bahwa nubuat tersebut bukan dari Allah. Salah satu pengaruh dari Adventisme kepada Saksi -saksi Yehuwa adalah meramalkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan akhir dunia. Mari kita melihat beberapa ramalan yang diberikan, yang saya ambil dari site Catholic Answer (silakan klik): 1889: “Peperangan pada hari besar, yaitu hari Allah Yang Mahakuasa (Why 6:14), dimana akan berakhir di tahun 1914 ..” (Studies, Vol. 2, 1908 edition, 101) [catatan: Hal ini tidak terbukti] 1891: “Dengan berakhirnya tahun 1914, apa yang Tuhan sebut Babilonia, dan apa yang orang-orang sebut Chistendom, akan berlalu, seperti yang telah ditunjukkan dalam nubuat” (Studies, Vol. 3, 153) 1894: “Akhir dari tahun 1914 bukanlah hari untuk permulaan, namun untuk berakhirnya masa kesukaran” (WT Reprints, 1-1-1894, 1605 and 1677) 1897: “Tuhan kita sekarang hadir, sejak Oktober 1874” (Studies, Vol. 4, 1897 edition, 621) 1916: “Enam masa 1000 tahun yang bermula dari Adam telah berakhir, dan masa hari ke tujuh, 1000 tahun dari pemerintahan Kristus telah dimulai di tahun 1873” (Studies, Vol. 2, p. 2 of foreword) 1917: “Alkitab … membuktikan bahwa kedatangan Kristus ke dua telah terjadi di musim gugur 1874” (Studies, Vol. 7, 68) 1918: “Oleh karena itu, dengan penuh keyakinan kita boleh berharap bahwa 1925 akan menandai kembalinya Abraham, Isak, Yakub, dan nabi-nabi yang setia dari masa dulu” (Millions Now Living Will Never Die, 89) [catatan: Hal ini tidak terbukti] 1922: “Tahun 1925 adalah tahun yang lebih diindikasikan oleh Alkitab secara lebih nyata daripada tahun 1914” (WT, 9-1-1922, 262). 1923: “Tahun 1925 secara pasti telah ditegaskan di dalam Alkitab. Seperti kepada nabi Nuh, umat Kristen sekarang mempunyai sesuatu yang lebih untuk mendasarkan imannya daripada yang dipunyai oleh nabi Nuh ketika dia mendasarkan imannya akan kedatangan banjir besar” (WT, 4-1-1923, 106). 1925: “Tahun 1925 telah tiba…. umat kristen seharusnya tidak terlalu kuatir tentang apa yang mungkin terjadi tahun ini” (WT, 1-1-1925, 3). 1931: “Ada bukti kekecewaan dari anggota Yehuwa di dunia tentang tanggal [prediksi] 1914, 1918 dan 1925, dimana kekecewaan hanya sementara. Kemudian para pengikut belajar bahwa tanggal-tanggal tersebut telah ditetapkan secara pasti di dalam Alkitab; dan mereka juga telah belajar untuk tidak menentukan tanggal yang pasti….” (Vindication, 388, 389). [catatan: nubuat akhir jaman yang diramalkan tahun 1914, 1918, 1925 tidaklah terbukti] 1939: “Bencana dari Armagedon sudah dekat” (Salvation, 361). 1941: “Armagedon pasti telah dekat … segera… dalam beberapa tahun” (Children, 10). 1946: “Armagedon… akan terjadi sebelum 1972” (They Have Found a Faith, 44). [catatan: Hal ini tidak terbukti] 1966: “Enam ribu tahun dari saat manusia diciptakan akan berakhir di tahun 1975, dan periode ke tujuh dari seribu tahun dari sejarah manusia akan dimulai di tahun 1975” (Life Everlasting in Freedom of the Sons of God, 29). 1968: “Akhir dari enam ribu tahun dari sejarah manusia di musim gugur tahun 1975 bukanlah [bersifat] sementara, namun diterima sebagai suatu tanggal yang pasti” (WT, 1-1-1968, 271). [catatan: Hal ini tidak terbukti] Dari sini, kita melihat bahwa ramalan-ramalan yang dilakukan oleh Saksi Yehuwa tidaklah terbukti, seperti ramalan-ramalan tentang akhir dunia dan armagedon. Dan kita tahu bahwa seorang nabi yang perkataannya tidak terbukti bukanlah nabi yang benar, seperti yang dikatakan di dalam Kitab Ulangan “apabila seorang nabi berkata demi nama TUHAN dan perkataannya itu tidak terjadi dan tidak sampai, maka itulah perkataan yang tidak difirmankan TUHAN; dengan terlalu berani nabi itu telah mengatakannya, maka janganlah gentar kepadanya.” (Ul 18:22; lihat juga Yer 23:16; 28:9). Dan ramalan tentang akhir dunia yang dibuat oleh Saksi Yehuwa tidak terjadi, bahkan bukan hanya gagal sekali, namun berkali-kali. Kalau Saksi Yehuwa membuat kesalahan doktrin tentang akhir jaman, maka pertanyaannya, bagaimana kita dapat percaya akan doktrin-doktrin yang lain? 5. Hanya 144,000 orang yang dipercaya berada di Sorga tidak masuk akal dan tidak Alkitabiah. Ajaran pokok yang lain dari Saksi Yehuwa adalah hanya 144,000 orang yang dapat masuk dalam Kerajaan Sorga.[5] Yang termasuk dalam kelompok 144,000 orang ini disebut “yang diurapi” (the anointed), sedangkan orang-orang lain yang dibenarkan oleh Allah disebut “domba yang lain” (the other sheep). Kelompok yang diurapi dipercaya mulai dari para rasul sampai tahun 1935. Ini berarti orang-orang kudus di dalam Perjanjian Lama tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga, namun hanya akan hidup di dalam dunia yang penuh kebahagiaan, seperti yang dipercayai oleh Saksi Yehuwa. Mereka mendasarkan pengajaran ini dari Wahyu 7:1-8 dan Wahyu 14:1-5. Dikatakan “Dan aku mendengar jumlah mereka yang dimeteraikan itu: seratus empat puluh empat ribu yang telah dimeteraikan dari semua suku keturunan Israel.” (Why 7:4) dan “Dan aku melihat: sesungguhnya, Anak Domba berdiri di bukit Sion dan bersama-sama dengan Dia seratus empat puluh empat ribu orang dan di dahi mereka tertulis nama-Nya dan nama Bapa-Nya” (Why 14:1). Dan mereka mengajarkan bahwa jumlah 144,000 harus diartikan secara harafiah/literal. Mari kita membahas, bahwa sebenarnya pengajaran ini sesungguhnya tidak masuk di akal dan tidaklah Alkitabiah. Kalau kita melihat di Wahyu 14:3-4 “3 Mereka menyanyikan suatu nyanyian baru di hadapan takhta dan di depan keempat makhluk dan tua-tua itu, dan tidak seorangpun yang dapat mempelajari nyanyian itu selain dari pada seratus empat puluh empat ribu orang yang telah ditebus dari bumi itu. 4 Mereka adalah orang-orang yang tidak mencemarkan dirinya dengan perempuan-perempuan, karena mereka murni sama seperti perawan. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti Anak Domba itu ke mana saja Ia pergi. Mereka ditebus dari antara manusia sebagai korban-korban sulung bagi Allah dan bagi Anak Domba itu.“ Kalau mereka ingin konsisten dengan pengertian harafiah 144,000 di ayat 3, maka seharusnya mereka juga mengartikan ayat empat secara harafiah. Karena ayat 4 mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak mencemarkan dirinya dengan perempuan-perempuan, karena mereka murni sama seperti perawan, maka 144,000 orang yang masuk Sorga adalah laki-laki yang hidup selibat. Namun yang terjadi adalah mereka mengatakan jumlahnya harus diartikan secara harafiah, namun siapa yang masuk Sorga dapat diartikan secara simbolik (tidak hanya laki-laki yang hidup selibat). Oleh karena itu, penafsiran ini menjadi tidak konsisten. Hal ini juga terjadi pada penafsiran berikut ini “Dan aku mendengar jumlah mereka yang dimeteraikan itu: seratus empat puluh empat ribu yang telah dimeteraikan dari semua suku keturunan Israel.” (Why 7:4). Terlihat bahwa Saksi Yehuwa tidak konsisten dalam menafsirkan ayat ini, karena jumlah 144,000 diartikan secara harafiah, namun suku keturunan Israel diartikan secara simbolik, yakni tidak terbatas pada suku Israel saja – termasuk anggota Saksi-saksi Yehuwa dari bangsa Amerika. Anggaplah bahwa ajaran tentang Saksi Yehuwa adalah benar, bahwa hanya 144,000 orang saja yang masuk ke dalam Kerajaan Sorga, mulai dari para rasul sampai tahun 1935. Yang perlu dipertanyakan di sini adalah, bagaimana mereka memperhitungkan jemaat perdana yang meninggal karena mempertahankan iman mereka dan menjadi martir, seperti pada jaman pemerintahan Nero (begitu banyak jumlah martir), Diocletian (20,000 martir), Shapur II (1,200 martir), Henry VIII (72,000), Nazi di Polandia (3,000), Tokugawa Leyasu di Jepang (37,000), dan masih begitu banyak daftar martir-martir yang meninggal karena mempertahankan iman kekristenan mereka, bukan hanya ribuan, namun ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang. Bagaimana dengan para santa-santo, yang kurang lebih berjumlah 10,000 orang. Kalau benar-benar hanya 144,000 orang yang masuk dalam kerajaan Sorga, maka mungkin tidak ada anggota Saksi Yehuwa yang masuk Sorga, karena Saksi Yehuwa baru didirikan pada tahun 1872 dan Sorga telah terisi dengan para martir dan santa-santo yang telah meninggal sebelum tahun 1872. Kita tahu bahwa para martir telah melaksanakan perintah Yesus yang terutama “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Mt 10:39). Dan kehilangan nyawa untuk mempertahankan iman hanyalah mungkin kalau didasari oleh kasih yang tulus. Mungkin ada baiknya kita semua merenung, apakah kita semua – termasuk anggota Saksi Yehuwa – mempunyai kasih kepada Allah dalam derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan para martir? Anggaplah bahwa hanya 144,000 orang saja (yang anggotanya mulai dari para rasul sampai tahun 1935) adalah benar, seperti yang diajarkan oleh Saksi Yehuwa. Pertanyaannya adalah bagaimanakah nasib para nabi di dalam Perjanjian Lama, seperti Abraham, Musa, Elia, Henokh, dan banyak nabi lai sebelum Kristus – termasuk Yohanes Pemandi? Apakah mereka tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah? Apakah Abraham yang menjadi bapa orang beriman (lih. Rm 4:16), sahabat Allah (Yak 2:23) tidak dapat masuk Sorga? Apakah Musa yang berbicara dengan Tuhan muka dengan muka, sebagaimana layaknya seorang teman (lih Kel 33:11) dan berbicara dengan Yesus pada peristiwa transfigurasi, tidak dapat masuk Sorga? Apakah Henokh yang berkenan kepada Allah, tidak meninggal dan diangkat ke Sorga tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga (lih. Ib 11:5). Apakah Elia yang diangkat ke Sorga (lih. 2 Raj 2:11) dan yang berbicara dengan Yesus pada transfigurasi (lih. Mat 17:3-4; Mrk 9:4; Lk 9:30) tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah? Apakah Yohanes Pembaptis yang kedatangannya telah dinubuatkan sebelumnya (lih. Yes 40:3; Mal 4:5-6), yang mempersiapkan kedatangan Tuhan (lih. Mt 3;1-3; Mk 1:4; Lk 3:2-3; Yoh 1:6-8) tidak juga dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah? Apakah semua nabi yang disebutkan di atas kurang iman dan suci dibandingkan dengan pendiri dan umat dari Saksi Yehuwa? Mari sekarang kita melihat Wahyu 7 dan 14. Di atas telah dijelaskan bagaimana Saksi Yehuwa tidak konsisten dalam menginterpretasikan Alkitab. Mari sekarang kita melihat lebih mendalam tentang Kitab Wahyu ini. Saksi Yehuwa mengatakan bahwa 144,000 adalah orang-orang yang berada di Sorga. Namun, kalau kita melihat Wahyu 7:1-8, maka sebenarnya jumlah 144,000 orang ini berada di dunia. Dikatakan “Kemudian dari pada itu aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut atau di pohon-pohon.” (Why 7:1). Dan kemudian di ayat 4 dikatakan “Dan aku mendengar jumlah mereka yang dimeteraikan itu: seratus empat puluh empat ribu yang telah dimeteraikan dari semua suku keturunan Israel.” Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa jumlah 144,000 berada di dunia. Kalau demikian, berapakah jumlah yang masuk dalam Kerajaan Sorga? Wahyu 7:9 menyebutkan “Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka.” Oleh karena itu, yang berada di Sorga adalah tidak terhitung banyaknya, dan bukan hanya 144,000. 5. Dua tipe kebahagiaan manusia – kebahagiaan Sorga dan dunia – adalah seperti sistem kasta, bertentangan dengan prinsip keadilan dan tidak Alkitabiah. Saksi Yehuwa mengajarkan bahwa hanya 144,000 yang diurapi[6], yang tentu saja adalah anggota dari Saksi Yehuwa, yang akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga dan memerintah bersama dengan Tuhan. Anggota Saksi Yehuwa yang lain, yang disebut kumpulan besar (great crowd) akan menikmati kebahagiaan di dunia, sama seperti kebahagiaan Adam dan Hawa di Taman Eden. Namun doktrin ini sungguh tidak dapat dipertanggungjawabkan, dengan beberapa alasan berikut ini: Tidak ada pembatasan jumlah orang yang masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Mt 5:11-12 mengatakan “11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. 12 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” Lebih lanjut rasul Paulus menegaskan “Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat.” (Fil 3:20) Dari sini kita tahu bahwa tidak ada pembatasan jumlah umat beriman yang dapat masuk dalam kerajaan Sorga. Kita harus menyadari bahwa kebahagiaan yang dijanjikan oleh Allah untuk dapat melihat Allah muka dengan muka (lih. 1 Kor 13:12) adalah merupakan kebahagiaan yang sempurna, yang jauh lebih sempurna dibandingkan dengan kebahagiaan kita di dunia ini – walaupun dengan kondisi seperti Taman Firdaus. Oleh karena itu, kebahagiaan di dunia yang dijanjikan oleh Saksi Yehuwa di luar 144,000 orang, tetaplah tidak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan di Sorga. Karena orang-orang yang mempunyai kebahagiaan di dunia tidaklah mungkin sebahagia mereka yang di Sorga, maka kebahagiaan di dunia adalah kebahagiaan yang tidak sempurna, kebahagiaan kelas dua. Lebih lagi, karena penentuan kebahagiaan ini adalah berdasarkan tahun kelahiran (karena yang menjadi bilangan dari 144,000 adalah dari jaman para rasul sampai tahun 1935), maka hal ini benar-benar menyalahi prinsip keadilan. Bagaimana mungkin, karena seseorang dilahirkan setelah tahun 1935, maka orang tersebut tidak dapat masuk dalam Kerajaan Sorga, walaupun orang tersebut adalah orang kudus, martir, dll. Bayangkan bahwa Bunda Teresa dari Kalkuta tidak dapat masuk sorga, sedangkan anggota Saksi Yehuwa sebelum tahun 1935 dapat masuk ke Sorga, meskipun kehidupan mereka kurang kudus dibandingkan dengan Bunda Teresa dari Kalkuta. Sungguh sulit dimengerti bahwa ada orang yang mau untuk melepaskan kewarganegaraan di Sorga (lih. Fil 3:20) dan hanya cukup dengan menikmati kebahagiaan abadi di dunia ini. Rasul Paulus menegaskan kepada jemaat di Tesalonika – yang berfikir bahwa orang yang meninggal sebelum kedatangan Kristus yang kedua tidak beruntung – bahwa sebenarnya semua umat beriman, baik yang meninggal sebelum atau sesudah kedatangan Kristus yang kedua akan diangkat dan memperoleh kebahagiaan di dalam Kerajaan Sorga. Membedakan tujuan akhir dari manusia – di Sorga berjumlah 144,000 dan di dunia yang beranggotakan umat Saksi Yehuwa – adalah seperti sistem kasta berdasarkan tahun, yaitu tahun dari para rasul sampai 1935. Dan sungguh sulit dimengerti bagaimana manusia yang seharusnya mempunyai kewarganegaraan di Sorga dapat menerima dan menukar kebahagiaan Sorga dengan kebahagiaan duniawi. 6. Pengajaran bahwa jiwa manusia tidak bersifat kekal menyalahi prinsip akal budi dan Alkitab. Saksi Yehuwa percaya bahwa jiwa manusia tidak bersifat spiritual dan kekal, namun jiwa manusia adalah badan. Oleh karena itu, pada waktu seseorang meninggal, maka jiwanya juga lenyap. Dan pada akhir zaman, maka jiwa manusia diciptakan kembali dari sesuatu yang tidak ada untuk masuk ke Sorga maupun kebahagiaan di dunia. Kita dapat membuktikan bahwa jiwa manusia adalah kekal berdasarkan filosofi dan juga Alkitab. Kalau kita mengamati, maka ada begitu banyak aktivitas manusia yang dilakukan bukan sebatas aktivitas tubuh atau material, seperti: berfikir, menginginkan, melakukan pemeriksaan batin, menyadari keberadaannya, keinginan bebas, dll. Semua ini bukanlah aktivitas tubuh, namun lebih bersifat spiritual. Sesuatu yang bersifat spiritual (bukan material) tidak mungkin dihasilkan oleh sesuatu yang bersifat material, namun harus dihasilkan oleh sesuatu yang bersifat spiritual.Sesuatu yang bersifat material, seperti tubuh kita, terdiri dari bagian (part). Dan pada waktu mati, maka bagian-bagian itu menjadi terpisah dan terurai. Namun, sesuatu yang bersifat spiritual (seperti jiwa kita) tidak mungkin mati, karena sesuatu yang spiritual tidak mempunyai bagian. Oleh karena itu, sesuatu yang bersifat spiritual menjadi kekal dan tidak mungkin mati. Alkitab juga menyediakan bukti-bukti bahwa jiwa manusia adalah bersifat kekal dan tidak mungkin mati.[7] Kej 1:27 menceritakan bahwa manusia diciptakan menurut gambaran Allah. Karena Allah adalah murni bersifat spiritual (lih. Jn 4:24), maka pasti ada elemen dari manusia yang bersifat spiritual. 1 Sam 28 menceritakan bagaimana Samuel yang telah meninggal menampakkan diri kepada Saul. Ini berarti roh Samuel tidak musnah, namun masih tetap hidup. Mt 10:28 menegaskan bahwa tentang jiwa yang kekal dan badan yang bersifat sementara, karena Yesus mengatakan bahwa tidak perlu kuatir kepada manusia yang dapat membunuh tubuh, namun bukan jiwa. Mt 17:1-8 menggambarkan peristiwa transfigurasi, dimana Yesus bercakap-cakap dengan Musa dan Elia. Karena Musa diceritakan telah meninggal (lih. Ul 34:5), maka kematian tidak membuat Musa menghilang. Lk 16 menceritakan bahwa Abraham, Lazarus dan orang kaya telah meninggal, namun diceritakan masih hidup di dunia yang lain. Why 6:9-10 menyatakan tentang jiwa-jiwa yang telah dibunuh, namun masih hidup dan bercakap-cakap dengan Penguasa yang Kudus. 7. Pengajaran bahwa tidak adanya neraka menyalahi prinsip keadilan dan Alkitab. Selain jiwa manusia tidak bersifat kekal, Saksi-saksi Yehuwa juga percaya bahwa tidak ada neraka kekal. Kalau demikian, apa yang terjadi dengan jiwa-jiwa yang jahat maupun setan? Saksi-saksi Yehuwa percaya bahwa jiwa-jiwa tersebut dimusnahkan dan tidak ada lagi. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan bertentangan dengan Alkitab dengan beberapa alasan berikut ini: Tuhan telah menciptakan jiwa manusia maupun malaikat, yang bersifat kekal, seperti yang telah di bahas pada point di atas. Kalau Tuhan telah menciptakan jiwa yang kekal dan kemudian memusnahkannya dan membuatnya tidak ada, maka sebenarnya Tuhan mengkontradiksi rencana-Nya sendiri. Karena Tuhan tidak mungkin mengkontradiksi Diri-Nya sendiri, maka tidak mungkin jiwa yang bersifat kekal dimusnahkan dan menjadi tidak ada. Kita juga melihat bahwa ajaran tidak ada neraka sebenarnya bertentangan dengan apa yang dikatakan di dalam Alkitab. Mt 3:12 mengatakan “Alat penampi sudah ditangan-Nya. Ia akan membersihkan tempat pengirikan-Nya dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan.” (lih. juga Lk 3:17). Api yang tak terpadamkan ini mengacu kepada neraka yang abadi. Mk 9:43 menegaskan “Dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung dari pada dengan utuh kedua tanganmu dibuang ke dalam neraka, ke dalam api yang tak terpadamkan” (lih. juga Mt 18:8). Ayat ini juga mengacu kepada neraka, dimana lebih baik kita kehilangan semua hal yang bersifats sementara daripada mendapatkan hukuman abadi di neraka dan dimasukkan ke dalam api yang tak terpadamkan. Mt 25:46 mengatakan “Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal.” Dari ayat ini, kita menyadari bahwa bagi mereka yang benar akan masuk dalam hidup yang kekal, sebaliknya orang-orang yang tidak benar akan mendapatkan siksa abadi di neraka. Dari ekpresi yang digunakan dalam ayat-ayat tersebut di atas, seperti: api yang tak terpadamkan, siksaan yang kekal, maka kita mengetahui bahwa neraka adalah sesuatu yang nyata. Dan kenyataan ini bukan hanya sementara, namun berlangsung untuk selamanya. Kalau di ayat Mt 25:46 dibandingkan antara kehidupan kekal dan siksaan kekal, maka akan menjadi tidak konsisten kalau kita mau menerima konsep kehidupan kekal namun tidak mau menerima adanya konsep siksaan kekal. Kalau seseorang percaya akan kehidupan kekal dari Alkitab, maka seseorang juga harus percaya akan siksaan kekal, yang juga diwahyukan oleh Allah kepada manusia. Kesimpulan Dari pemaparan di atas, maka banyak ajaran dari Saksi-saksi Yehuwa yang bertentangan dengan Alkitab, akal budi, dan bahkan bertentangan dengan keadilan. Memberitakan Kristus yang bukan Tuhan, bukanlah ajaran Kristen, karena kekristenan mendasarkan iman, pengharapan dan kasih pada Kristus yang adalah sungguh Tuhan dan sungguh manusia. Kalau Kristus bukan Tuhan dan ‘hanya’ malaikat Mikael, maka sia-sialah pengharapan kita, karena kita hanya berharap pada ciptaan dan bukan pada Pencipta. Kalau kita tidak mempunyai tujuan ke Sorga dan bersatu dengan Tuhan untuk selama-lamanya di dalam Kerajaan Sorga, maka sia-sialah semua yang dilakukan di dunia ini. Kalau tidak ada pengadilan terakhir dan tidak ada neraka, maka keadilan yang seadil-adilnya tidak dapat ditegakkan. Kalau ada yang mau kita pelajari dari Saksi Yehuwa, maka kita tidak boleh percaya akan pengajaran mereka, namun kita harus meniru semangat mereka untuk memberitakan Injil. Bahkan pendiri EWTN (Eternal Word Television Network), Mother Angelica mengatakan “Berikan kepadaku 10 orang Katolik, yang mempunyai semangat seperti Saksi Yehuwa, dan aku dapat merubah dunia.” Mari, kita semua, yang menjadi umat Gereja Katolik – Gereja mempunyai kepenuhan kebenaran -, kita harus dengan giat dan penuh semangat memberitakan kebenaran Kristus dan Gereja-Nya. Semoga Roh Kudus memberikan kebijaksanaan kepada kita semua, agar kita dapat mempertahankan kebenaran dan bertumbuh terus di dalam kebenaran. “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Mt 10:39). CATATAN KAKI: Adventisme mengacu kepada gerakan keagamaan yang sangat kuat di sekitar tahun 1800-an, seperti the Mormons, the Seventh Day Adventists / Tujuh Hari Adven [↩] Ajaran yang menolak kemanusiaan Yesus: Docetism, Gnosticism, Manichaeism, Apollinarism, Monophisitism. Ajaran yang menolak ke-Allahan Yesus: Adoptionism, Arianism. [↩] lih. Aid to Bible Understanding, p. 1152, yang mengatakan “Michael the Archangel, the first creation of Jehovah, before He came to earth and returned to the identity of Michael after his ressurection.“; lihat juga United in Worship, p. 29 yang mengatakan “Michael the Archangel is no other than the only begotten son of God, now Jesus Christ. That Jehovah directly created only one thing, Michael the arch angel and that Michael created all other things.“ [↩] Fr. Frank Chacon dan Jim Burnham, Beginning Apologetics 2: How to Answer Jehowah’s Witnesses and Mormons (Farmington, NM: San Juan Catholic Seminars, 1996), hal. 3, mengambil sumber dari Brigham Young, Journal of Discourse [↩] Reasoning from the Scriptures (Reasoning) [New York, Watchtower Bible and Tract Society, 1985], 166 [↩] Insight on the Scriptures (Insight), 2 vols. [New York, Watchtower Bible and Tract Society, 1988], 786 [↩] Fr. Frank Chacon dan Jim Burnham, Beginning Apologetics 2: How to Answer Jehowah’s Witnesses and Mormons (Farmington, NM: San Juan Catholic Seminars, 1996), hal. 14-15 [↩]