I. Kota Mekah
Mekah di jaman kuno terletak di lalu lintas perdagangan antara Yaman (Arab Selatan) dan Syam dekat laut tengah. Kedua Negara ini pada saat itu telah mengalami peradaban yang cukup tinggi dan dihubungkan oleh beberapa negeri kecil, salah satunya adalah Mekah. Dari sudut pandang geografis, Mekah terletak di tengah-tengah jazirah Arabia. Oleh karena itu banyak kafilah baik dari luar maupun Mekah sendiri yang dengan mudah mencapai kota Mekah dan bepergian ke kota-kota lain, seperti ke Syam, Hirah dan Yaman. Hal ini secara tidak langsung membawa dampak bagi perdagangan yang semakin berkembang di kalangan orang-orang Mekah dan sekitarnya.
Di kota Mekah terdapat rumah suci yang disebut dengan Baitullah atau Ka’bah. Bangsa Arab sangat menghormati dan menyucikan tempat ini. Pembinaan dan pemeliharaan Baitullah ini, berdasarkan sejarah Islam dilakukan oleh Nabi Ibrahim bersama puteranya, Ismail. Ismail kemudian menikah dengan orang Mekah yang berasal dari Yaman dan menetap di Mekah turun temurun. Keturunan nabi Ismail disebut Banu Ismail atau Adnaniyyun.
Ketika Bendungan di Ma’rib, Arabia Selatan pecah dan menimbulkan malapetaka yang besar bagi para penduduknya, banyak para kafilah yang berbondong-bondong menuju daerah utara. Di antara mereka terdapat rombongan yang dipimpin oleh Harits bin Amir yang bergelar Khuza’ah yang pindah menuju Mekah. Untuk dapat tinggal di Mekah, mereka harus mengalahkan penduduk Mekah (suku Jurhum) dan kemudian menjadi penguasa atas negeri ini secara turun-temurun. Dalam masa pemerintahan Khuza’ah inilah Banu Ismail berkembang yang akhirnya keturunannya menyebar ke seluruh jazirah Arab. Banu Ismail yang tinggal di Mekah adalah suku Quraisy. Mereka sama sekali tidak punya kekuasaan atas kota Mekah dan juga atas Kaba’ah.
Kira-kira pada abad ke-5 Masehi, seorang pemimpin suku Quraisy yang bernama Qushai berhasil merebut kekuasaan kota Mekah dari tangan kaum Khuza’ah yang telah berabad-abad menguasai kota Mekah. Kekuasaan yang direbut meliputi bidang pemerintahan dan keagamaan. Dengan demikian Qushai menjadi pemimpin pemerintahan dan keagamaan. Di bidang pemerintahan, Qushai meletakkan dasar-dasar demokrasi. Ia membagi-bagi kekuasaan di antara pemimpin Quraisy.
Dalam perkembangan lebih lanjut kota Mekah berkembang dengan organisasinya tersebut. Hal ini seiring dengan runtuhnya kerajaan Himyariah di Arabia Selatan, pada awal abad ke-6 M. Kesadaran akan kepentingan kota yang harus didahulukan daripada kepentingan suku sendiri juga tumbuh dalam diri masyarakat kota Mekah. Segala perselisihan dapat diselesaikan dengan damai. Orang-orang berusaha menghindari pertumpahan darah karena hal ini akan menodai kesucian kota yang sudah menjadi keyakinan yang dipegang berabad-abad lamanya. Selain itu juga untuk menjaga ketentraman kota Mekah, lebih-lebih setiap tahun pada bulan-bulan haji bangsa Arab datang dari segala penjuru untuk menunanikan kewajiban agama. Banyak keuntungan yang didapatkan dari kunjungan ini. Maka sangat pentinglah menjaga ketentraman kota Mekah. Kaum Quraisy mendapatkan kepercayaan dari bangsa Arab untuk menjaga kesucian dan keamanan kota Mekah.
Mengenai keagamaan, sejak Qushai berhasil menggulingkan kekuasaan orang-orang Khuza’ah, Qushai menjadi pemimpin agama. Bangsa Arab mengakui bahwa hak pemeliharaan atah Ka’bah dalam kota Mekah hanya ada pada keturunan Ismail. Oleh karena itu, tindakan Qushai mengambil alih kekuasaan atas Ka’bah dari orang-orang Khuza’ah diakui dan dibenarkan oleh bangsa-bangsa Arab, karena Qushai adalah keturunan Ismail. Dengan demikian hanya Qushailah yang berhak menjaga, membuka dan menutup pintu Kaba’ah serta memimpin upacara di rumah suci itu. Setelah Qushai meninggal, pimpinan dilanjutkan oleh keturunannya.
II. Muhammad SAW
A. Kelahiran Nabi Muhammad S.A.W.
Ketika umat berada dalam kegelapan dan kehilangan pegangan hidupnya, di kota Mekah lahir seorang bayi yang akan membawa perubahan bagi dunia. Bayi itu lahir dari pasangan Abdullah dan Siti Aminah. Namun, bayi itu lahir sebagai anak yatim karena ayahnya meninggal 7 bulan sebelum kelahirannya. Kehadiran bayi itu disambut dengan penuh kasih sayang oleh neneknya, Abdul Muthalib yang kemudian membawa bayi tersebut ke kaki Ka’bah. Di tempat suci ini kemudian bayi ini diberi nama Muhammad, nama yang belum pernah ada sebelumnya. Menurut para ahli, Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabiurawal tahun Gajah atau 20 April tahun 571 M.
Penggunaan nama tahun Gajah berkaitan dengan situasi yang terjadi di kota Mekah yang ketika itu di serang oleh pasukan tentara Nasrani di bawah pimpinan Abrahah, gubernur Kerajaan Abessinia yang memerintah di Yaman, dan mereka bermaksud menghancurkan Ka’bah. Ketika itu Abrahah berkendaraan Gajah. Namun, sebelum maksud mereka tercapai, Allah SWT mengirimkan burung ababil. Karena Pasukan Abrahah naik gajah, maka orang Arab menyebut bala tentara tersebut sebagai pasukan bergajah, dan untuk mengenang peristiwa tersebut, orang-orang Arab menyebut tahun tersebut sebagai Tahun Gajah.
Muhammad SAW adalah keturunan dari Qushai, pahlawan suku Quraisy yang berhasil menggulingkan kekuasaan Khuza’ah atas kot Mekah. Ayah Muhammad adalah Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdulmanaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah dari golongan Arab Bani Ismail. Ibunya Muhammad bernama Siti Aminah binti Wahab bin Abdulmanaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah. Di sinilah silsilah keturunan ayah dan ibu Muhammad bertemu. Baik keluarga ayahnya maupun ibunya merupakan keluarga bangsawan dan terhormat dalam kalangan kabilah-kabilah Arab.
Dalam kalangan bangsawan di kota Mekah terdapat kebiasaan untuk menyusukan dan menitipkan bayi-bayi mereka kepada wanita badiyah (dusun di padang pasir). Tujuan dari kebiasaan ini adalah agar bayi-bayi dapat menghirup udara yang bersih, terhindar dari penyakit-penyakit kota dan supaya bayi-bayi dapat berbicara dengan bahasa yang murni dan fasih. Demikian halnya dengan Muhammad, oleh ibunya diserahkan kepada seorang perempuan bernama halimah Sa’diyah dari Bani Sa’ad Kabilah Hawazin yang tempatnya tidak jauh dari Mekah. Di perkampungan Bani Sa’ad inilah Nabi Muhammad SAW diasuh dan dibesarkan sampai berusia 5 tahun.
B. Kematian Ibu dan Nenek
Sesudah berusia 5 tahun Muhammad diantarkan ke Mekah kepada ibunya, Siti Aminah. Setahun kemudian, yaitu sesudah berusia 6 tahun, Siti Aminah membawa Muhammad ke Medinah, bersama-sama dengan Ummu Aiman, sahaya peninggalan ayahnya. Di Medinah, Muhammad diperkenalkan dengan keluarga neneknya (Bani Najjar) dan untuk berziarah ke makam ayahnya. Di Medinah, Muhammad melihat tempat ayahnya dirawat ketika sedang sakit sampai meninggalnya dan pusara tempat ayahnya dimakamkan. Cerita Siti Aminah kepada Muhammad sangat mengharukan, sehingga sampai sesudah ia diangkat menjadi Rasul dan sesudah ia hijrah ke Medinah, peristiwa itu sering disebut-sebut.
Mereka tinggal di Medinah kurang lebih selama 1 bulan, kemudian kembali ke Mekah. Dalam perjalanan pulang, di tempat yang bernama Abwa (nama sebuah desa yang terletak di antara madinah dan Juhfah, kira-kira 23 mil di sebelah kota Madinah), Siti Aminah jatuh sakit dan meninggal disitu. Kemudian Siti Aminah dimakamkan di tempat itu juga. Hal ini membuat Muhammad sangat sedih dan menjadi yatim piatu. Setelah pemakaman ibunya, Muhammad kemudian meninggalkan kampong Abwa tersebut dan kembali ke Mekah untuk tinggal kembali denan neneknya, Abdul Muthalib.
Mulai saat itulah Muhammad diasuh oleh neneknya dengan penuh cinta. Pada waktu itu Abdul Muthalib kira-kira berusia 80 tahun. Kasih sayang yang diberikan oleh neneknya menjadikan Muhammad terhibur dan dapat melupakan kemalangan nasib hidpnya. Namun, hal ini tidak berlangsung lama karena 2 tahun kemudian neneknya meninggal dunia. (Abdul Muthalib merupakan seorang pemuka kaum Quraisy yang sangat disegani dan dihormati oleh kaum Quraisy pada umumnya dan penduduk Mekah pada khususnya. Dikisahkan, begitu besar penghormatan bagi kedudukannya yang tinggi dan mulia, sampai-sampai anak-anaknya sendiri tidak ada yang berani mendahului menduduki tikar yang disediakan khusus baginya di sisi Ka’bah).
Meninggalnya Abdul Muthalib tidak saja merupakan kemalangan bagi Muhammad, namun juga oleh seluruh penduduk Mekah. Mereka seperti kehilangan seorang pembesar dan pemimpin yang cerdas, bijaksana, berani dan perwira yang tidak mudah dicari gantinya. Berdasarkan wasiat dari Abdu Muthalib, maka Muhammad kemudian diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Kesungguhan Abu Thalib dalam mengasuh Muhammad penuh dengan kasih saying sama dengan mengasuh anaknya sendiri. Selama dalam asuhan nenek dan pamannya, Muhammad menunjukkan sikap yang terpuji dan selalu meringankan kehidupan mereka.
C. Pengalaman-pengalaman Penting Nabi Muhammad S.A.W.
Ketika berusia 12 tahun Nabi Muhammad mengikuti pamannya, Abu Thalib, membawa barang dagangan ke Syam. Sebelum mencapai kota Syam, baru sampai ke Bushra, Kafilah Abu Thalib bertemu dengan seorang pendeta Nasrani yang alim bernama Buhaira. Pendeta itu melihat ada tanda-tanda kenabian dalam diri Muhammad. Kemudian ia memberikan nasihat kepada Abu Thalibagar membawa keponakannya itu pulang ke Mekah karena dia khawatir mereka akan bertemu dengan orang Yahudi yang akan menganiaya Muhammad. Akhirnya Abu Thalib segera menyelesaikan dagangannya dan kembali ke Mekah.
Seperti anak-anak pada umumnya akhirnya Muhammad kembali kepada pekerjaannya, yakni menggembalakan kambing. Kambing yang digembalakan Muhammad bukan hanya kambing keluarganya, namun jugakambing milik penduduk Mekah lain yang dipercayakan kepadanya. Pekerjaan menggembalakn kambiing membuahkan didikan yang amat baik pada dir Muhammad. Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang membutuhkan keuletan, kesabaran dan ketenangan serta keterampilan dalam tindakan.
Ketika Muhammmad berusia 15 tahun terjadilah peristiwa bersejarah bagi penduduk Mekah. Pada saat itu terjadi peperangan antara suku Quraisy dengan Kinanah, selain itu juga dengan suku Qais. Muhammad aktif dalam peperangan ini, memberikan bantuan kepada paman-pamannya dengan menyediakan keperluan peperangan. Peperangan ini terjadi di daerah suci pada bulan-bulan suci yaitu ada bulan Zulqaedah. Menurut pandangan bangsa Arab, peristiwa itu adalah penyelenggaraan terhadap kesucian, karena melanggar kesucian bulan Zulqaedah. Pada bulan ini orang tidak boleh berkelahi, berperang menumpahkan darah. Oleh karena itu perang ini disebut Harbul Fijar yang artinya perang yang memecahkan kesucian.
Sejak Abdul Muthalib wafat kota Mekah mengalami kemerosotan. Ketertiban tidak terjaga, keamanan harta benda, diri pribadi juga tidak mendapatkan jaminan. Kadang mereka dirampok, bukan saja barang dan harta bendanya, namun juga istri dan anak perempuannya. Hal-hal seperti ini menjadikan suasana kota Mekah kacau dan genting. Apabila dibiarkan berlarut-larut, maka akan merugikan penduduk Mekah sendiri (Quraisy). Akhirnya timbullah keinsyafan di kalangan pemimpin-pemimpin Quraisy untuk memulihkan kembali ketertiban kota Mekah. Kemudian berkumpullah pemuka-pemuka dari Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Asad bin ‘Uzza, Bani Zuhrah bin Kilab dan Bani Tamin bin Murrah. Dalam pertemuan ini mereka bersumpah bahwa tidak ada seorangpun yang akan teraniaya lagi di kota Mekah, baik oleh penduduknya sendiri maupun orang lain. Barangsiapa yang teraniaya, harus dibela bersama-sama. Inilah isi sumpah mereka yang dalam sejarah disebut dengan Halfulfudful. Muhammad sendiri mengatakan sesudah menjadi Rasul bahwa ia meyaksikan pertemuan tersebut yang dilaksanakan di rumah Abdullah bin Jud’an, ketika ia berusia belasan tahun. Hasil pertemuan para pemuka di atas membawa perubahan yang baik bagi kota Mekah, sehingga menjadi aman yang kemudaian memegang peranan dalam sejarah perkembangan bangsa Arab.
Ketika menginjak masa dewasa, Muhammad mulai berusaha sendiri dalam hidupnya. Karena terkenal kejujurannya, maka seorang janda bernama Siti Khadijah mempercayai Muhammad untuk membawa barang dagangan ke Syam. Dalam perjalanan ke Syam, Muhammad ditemani pembantu Siti Khadijah yang bernama Maisarah. Setelah selesai menjual belikan barang dagangannya dan memperoleh laba yang tidak sedikit, mereka kembali ke Mekah. Sesudah itu datanglah lamaran dari pihak Siti Khadijah kepada Muhammad. Hal itu disampaikan Muhammad kepada pamannya. Setelah tercapai sepakat, akhirnya dilangsungkan perkawinan. Katika itu usia Muhammad 25 tahun dan Siti Khadijah 40 tahun.
D. Akhlak Nabi Muhammad dari Masa Kanak-kanak hingga Dewasa
Dalam perjalanan hidupnya sejak masi kanak-kanak hingga dewasa dan sampai diangkat menjadi Rasul, Muhammad terkenal sebagai orang yang jujur, berbudi luhur dan mempunyai kepribadian yang tinggi. Tak ada perbuatan dan tingkah lakunya yang tercela yang dapat dituduhkan kepadanya. Hal ini berlainan sekalli dengan tindakan dan perbuatan pemuda-pemuda kebanyakan dan penduduk kota Mekah yang umumnya gemar berfoya-foya dan bermabuk-mabukan. Karena demikian jujurnya dalam perkataan dan perbuatan, maka Muhammad diberi julukan “Al-Amin”, artinya “orang yang dapat dipercayai”. Para ahli sejarah berpendapat bahwa Muhammad SAW sejak kecil hingga dewasa tidak pernah menyembah berhala seperti lazimnya orang Arab Jahiliyah pada waktu itu. Ia sangat benci kepada berhala dan menjauhkan diri dari keramaian dan upacara-upacara pemujaan berhala itu.
Untuk mencukupi keperluan hidup sehari-hari, Muhammad berusaha sendiri mencari nafkah karena orang tuanya tidak meninggalkan harta warisan yang cukup. Sesudah bmenikah dengan Siti Khadijah, ia kemudian berdagang bersama dengan istrinya, kadang-kadang juga dengan orang lain. Sebagai seorang yang bakal menjadi pembimbing umat manusia, ia memiliki bakat-bakat dan kemampuan jiwa yang besar. Kecerdasan pikirannya, ketajaman otaknya, kehalusan perasaannya, kekuatan ingatannya, mendapatkan pengolahan yang sempurna dalam jiwanya. Dia mengetahui babak-babak sejarah negerinya, kesedihan masyarakat dan keruntuhan agama bangsanya. Pemandangan itu tidak dapat lepas dari ingatannya.
Muhammad mulai “menyiapkan dirinya” (bertahannuts) untuk mendapatkan pemusatan jiwa yang lebih sempurna. Untuk bertahannuts, ia memilih sebuah gua kecil bernama “hira” yang terletak di sebuah bukit bernama “Jabal Nur” (Bukit Cahaya) kira-kira 2-3 mil di sebelah utara kota Mekah. Walaupun Muhammad SAW dengan daya pikirannya yan jernih berusaha merenungkan tentang pencipta alam raya ini, namun sebelum kenabiannya dia tidaklah sampai kepada hakikat penciptanya, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah SWT dalam Al Qur’an surat (42), As Syuuraa ayat 52.
Ayat : “Dan begitulah telah Kami wahyukan kepadamu suatu ru (Al Qur’an) dari perintah Kami; kamu belum pernah mengetahui apakah kitab dan apakah iman…”
Dan surat (93) Adh Shuja ayat 7
Ayat : “Dan Dia dapati kamu dalam kebingungan, lalu Dia diberi hidayah (kenabian)”
E. Muhammad menjadi Rasul
Ketika menginjak usia 40 tahun, Muhammad SAW lebih banyak mengerjakan tahannuts daripada waktu-waktu sebelumnya. Pada bulan Ramadhan dibawanya perbekalan lebih banyak dari biasanya, karena akan bertahannuts lebih lama daripada waktu-waktu seblumnya. Dalam melakukan tahannuts kadang-kadang beliau bermimpi, mimpi yang benar (Arru’yaa ashashaadiqah).
Pada malam 17 Ramadhan, tepatnya tanggal 6 Agustus tahun 610 M, ketika Muhammad SAW sedang bertahannuts di gua Hira, datanglah Malaikat Jibril membawa tulisan dan menyuruh Muhammad membacanya, katanya : “Bacalah”. Dengan terperanjat Muhammad menjawab : “Aku tidak dapat membaca”. Muhammad kemudian direngkuh beberapa kali oleh Malaikat hingga nafasnya sesak, lalu dilepaskan olehnya seraya disuruhnya membaca sekali lagi : “Bacalah”. Tetapi Muhammad masih tetap menjawab : “Aku tidak dapat membaca”. Hal ini terjadi berulangkali sampai tiga kali, dan akhirnya Muhammad berkata : “Apa yang kubaca?” Kata Malaikat Jibril : “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menjadikan. Yang menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu teramat mulia. Yang mengajarkan dengan pena (tulis baca). Mengajarkan kepada manusia apa yang diketahuinya” (Surat (96) Al’Alaq ayat 1-5).
Inilah wahyu yang pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, dan inilah saat penobatan Muhammad menjadi Rasulullah atau utusan Allah kepada seluruh umat manusia untuk menyampaikan risalahnya. Pada saat itu usia Muhammad SAW adalah 40 tahun 8 bulan, 8 hari berdasarkan tahun bulan (qamariyah) atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut tahun matahari (syamsiah).
Setelah menerima wahyu itu Muhammad terus pulang ke rumah dalam keadaan gemetar, sehingga minta diselimuti oleh istrinya, Siti Khadijah. Istrinya yang setia segera menyelimutinya. Setelah rasa cemasnya mereda, maka diceritakan kepada istrinya pengalaman yang baru saja dialaminya.
G. Peranan Siti Khadijah di saat-saat Nabi Muhammad S.A.W menerima Wahyu
Siti Khadijah masih satu keturunan dengan Muhammad SAW, yaitu bertemu pada Qushai. Apabila diuraikan silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah adalah : Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushai. Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushai.
Di antara istri-istri Muhammad, Siti Khadijah adalah yang paling dekat dengan Muhammad SAW. Siti Khadijah adalah janda keturunan bangsawan Quraisy. Siti Khadijah sebelum menikah dengan Muhammad, telah 2 kali menikah. Pertama dengan ‘Atieq bin ‘Aabld Al-Makhzumy, seorang laki-laki yang masih tergolong bangsawan Quraisy. Perkawinan ini menghasilkan seorang anak bernama Hindun. Siti menjada karena ‘Atieq meninggal dunia. Kedua dengan Nabbasy bin Zurarah Attaimy yang juga masih keturunan bangsawan Quraisy. Perkawinan kedua ini menghasilkan seorang putera bernama Halal dan seorang puteri yang juga diberi nama Hindun. Perkawinan yang kedua ini juga tidak bertahan lama karena Nabbasy meninggal dunia.
Siti Khadijah mempunyai pribadi luhur dan ahklah mulia. Dalam kehidupan sehari-hari ia senantiasa menjaga dan memelihara kesucian dan martabat dirinya. Ia menjauhi adat istiadat yang tidak senonoh wanita-wanita Arah Jahiliyah pada waktu itu, sehingga oleh penduduk Mekah ia diberi gelar At Thahirah. Ia mempunyai pikiran yang tajam, lapang dada, kuat himmah dan tinggi cita-citanya. Ia suka menolong orang-orang yang lemah. Di samping itu ia adalah seorang wanita yang pandai berdagang. Perdagangannya tidak dikerjakan sendiri, namun dibawa oleh beberapa orang kepercayaannya atau oleh orang-orang yang sengaja mengambil upah untuk membawakan dagangannya ke negeri syam dan lainnya. Perdagangannya sangat maju, sehingga ia terhidtung seorang wanita yang kaya raya dan sangat dermawan dalam masyarakt Quraisy kota Mekah pada waktu itu.
Meskipun siti Khadijah telah dua kali menikah, menjanda dan mempunyai anak, tetapi banyak laki-laki yang meminangnya untuk mengambilnya menjadi istri. Namun, semua pinangan ditolak dengan cara bijaksana dan sangat halus, sehingga laki-laki yang ditolak pinangannya tidak merasa tersinggung atau merasa dihina. Demikianlah kebesaran pribadi dan ketinggian budi wanita pilihan ini, yang telah ditetapkan dalam kadar-Nya bahwa wanita pilihan ini akan menjadi seorang Utusan Allah yang akan memperbaiki akhlak kaumnya dan mengankat derajat kaumnya yang bergelimang dalam lumpur.
Berikut ini adalah peranan Siti Khadijah, istri Nabi Muhammad SAW yang patuh dan setia. Di saat-saat Nabi menerima Wahyu dan diangkat menjadi Rasullah (utusan Allah) secara ringkas adalah :
- Siti Khadijah sangat mengenal jiwa, pribadi serta akhlak suaminya, Muhammad SAW. Sejak kecil hingga dewasa dan kemudian menjadi suaminya.
- Siti Khadijah memberikan kesempatan dan keleluasaan yang sebesar-besarnya untuk memasuki kehidupan berpikir dan alam nafsani, untuk mencari hakikat yang benar dan mutlak. Suaminya diberikan dorongan semangat agar terus mencari hakikat yang benar dan mutlak itu, dengan tidak dibebani persoalan-persoalan rumah tangga dan untuk membantu melancarkan roda perdagangannya. Urusan perdagangan diurus sendiri oleh Siti Khadijah. Ketika suaminya bertafakur atau bertahannuts di gua Hira, disediakannya perbekalan untuk tinggal selama beberapa hari untuk melakukan tahannuts mencari hakikat yang benar itu.
- Ketika Muhammad SAW berada dalam keraguan dan kebimbangan menghadapi kejadian-kejadian yang dilohatnya dalam tidurnya (mimpi yang benar), sebagai istri, Siti Khadijah berusaha meyakinkan suaminya, bahwa dengan akhlaknya yang mulia dan tidak pernah berdusta atau menyakiti hati orang lain, mustahil ia akan diganggu atau digoda oleh jin atau setan.
- Ketika Nabi Muhammad dalam kegelisahan dan kebingungan setelah menerima wahyu yang pertama, Siti Khadijah menghibur dan meyakinkan hati suaminya, bahwa suaminya akan menjadi Nabi dan akan mengangkat derajat kaumnya dari lembah kehinaan dan kesesatan ke derajat kemuliaan dan kebahagiaan abadi. Kemudian setelah hilang keraguan dan kecemasan suaminya, pergilah ia ke Waraqah bin Naufal menceritakan perihal yang dialami suaminya. Dan oleh Waraqah ditegaskan berdasarkan pengetahuannya dalam Kitab Injil yang dipelajarinya, bahwa Muhammad SAW akan menjadi Nabi.
- Ketika suaminya menerima Wahyu kedua berisi perintah yang menyuruh mulai bekerja dan berjuang menyiarkan agama Allah dan mengajak kaumnya kepada agama tauhid, Siti Khadijah adalah orang wanita pertama yang percaya bahwa suaminya, adalah Rasullah (utusan Allah), dan kemudian menyatakan ke-Islam-annya tanpa ragu dan bimbang sedikitpun jua.
Peranan Siti Khadijah sebagai istri dan wanita pilihan yang memang telah ditetapkan oleh Allah dalam qadar-Nya, adalah sangat besar sekali dalam usaha suaminya untuk menyerukan kepada umatnya dan mengajak kaumnya kepada agama tauhid, dan meninggalkan agama berhala dan adat istiadat jahilliyah.
H. Tugas Nabi Muhammad
Menurut riwayat, selama kurang lebih setengah tahun lamanya sesudah menerima wahyu pertama, barulah Rasullah menerima wahyu yang kedua. Ketika menunggu wahyu kedua itu, Rasullah diliputi perasaan cemas dan khawatir, kalau-kalau wahyu itu putus. Muhammad SAW hampir saja putus asa, akan tetapi kemudian ditetapkannya dalam hatinya dan beliau terus bertahannuts sebagaimana di gua Hira. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit, beliau menengadah, tampaklah Malaikat Jibril sehingga beliau menggigil ketakutan dan segera pulang ke rumah. Dalam keadaan berselimut itu datanglah Malaikat Jibril menyampaikan Wahyu Allah yang kedua yang berbunyi : “Hai orang berselimut, bangun dan berilah peringatan! Besarkanlah (nama) Tuhan, bersihkanlah pakaianmu, ma’siat, janganlah kamu member, karena hendak memperoleh yang lebih banyak. Dan hendaklah kamu bersabar untuk memenuhi perintah TUhanMu”.
Dengan turunnya Wahyu kedua ini, maka jelaslah sudah apa yang harus dilakukan oleh Muhammad SAW untuk menyampaikan risalah-Nya, yaitu mengajak umat manusia menyembah Allah yang Maha Esa yang tiada beranak dan tidak pula diperanakkan serta tidak sekutu bagi-Nya. Inilah permulaan perintah Agama Allah kepada seluruh umat manusia.
I. Menyiarkan Agama Islam
1. Menyiarkan Agama Islam secara sembunyi-sembunyi
Sesudah Rasullah menerima wahyu kedua yang menjelaskan tugasnya, mulailah ia secara sembunyi-sembunyi menyeru keluarga yang tinggal dalam satu rumah dan sahabat-sahabat terdekatnya. Seorang demi seorang agar mereka meninggalkan agama dan berhala dan hanya menyembah Allah Yang Maha Esa. Maka yang mula-mula adalah istrinya, Siti Khadijah, kemudian disusul oleh anak pamannya yang masih muda Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah, budak beliau yang kemudian menjadi anak angkatnya.
Setelah itu yang menerima pewartaan adalah Abu Bakar Sidiq, sahabat karib yang telah lama bergaul dengannya. Dengan perantaraan Abu Bakar, kemudian banyak orang-orang yang memeluk agama Islam, antara lain : Utsman bin ‘Affan, Zubair bin Awwan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin ‘Auf, Thalhah bin ‘Ubadillah, Abu ‘Ubaidillah bin Jarrah, Arqam bin Abil Arqam, Fatimah binti Khaththab (adik Umar bin Khaththab r.a.) beserta suaminya Said bin Zaid Al ‘Adawi dan beberapa orang penduduk Mekah lainnnya dari Kabilah Quraisy. Mereka itu diberi gelar ‘As Saabiquunal awwalum. Artinya orang-orang yang terdahulu yang pertama-tama masuk ke agama Islam. Mereka mendapat gemblengan dan pelajaran tentang agama Islam oleh Rasullah sendiri di tempat yang tersembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam dalamkota Mekah.
2. Menyiarkan Agama Islah secara terang-terangan
Selama kurang lebih 3 tahun, Rasullah melakukan da’watul afraad ini, yaitu ajakan untuk masuk Islam seorang demi seorang secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi dari satu rumah ke rumah lainnya. Kemudian turunlah firman Allah (surat 15) Al Hijr 94 yang berbunyi : “Maka jalankanlah apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang mussryik”.
Ayat ini memerintahkan kepada Rasullah untuk menyiarkan agama Islam secara terang-terangan dan meninggalkan cara sembunyi-sembunyi. Maka mulailah Nabi Muhammad SAW mewartakan kepada kaumnya secara umum di tempat-tempat terbuka untuk menyembah Allah dan meng-esa-kanNya. Pertama seruannya (da’wah) yang bersifat umum ditujukan kepada kerabatnya sendiri, kemudian kepada penduduk Mekah umumnya yang terdiri dari bermacam-macam lapisan masyarakat, baik golongan bangsawan, hartawan maupun hamba sahaya, kemudian kepada kabilah-kabilah Arab di pelbagai daerah yang datang ke Mekah untuk mengerjakan haji.
Dengan seruan yang bersifat umum dan terang-terangan ini, maka Nabi dan agama yang baru (Islam) yang dibawanya menjadi perhatian dan pembicaraan yang ramai di kalangan masyarakat kota Mekah. Pada awalnya mereka menganggap gerakan Nabi Muhammad SAW ini adalah suatu gerakan yang tidak mempunyai dasar dan tujuan dan bertahan hidup hanya sebentar saja. Oleh karena itu sikap mereka terhadap nabi acuh tak acuh dan membiarkannya. Gerakan Nabi Muhammad SAW semakin luas dan pengikutnya semakin bertambah banyak dan seruan nabi Muhammad SAW semakin tegas dan lantang. Baeliau juga mulai mengancam agama berhala kaumnya dengan mencela semaban mereka serta membodohkan pula nenek moyang mereka yang menyembah berhala-berhala.
3. Reaksi orang Quraisy
Ketika orang-orang Quraisy melihat gerakan Islam serta mendengar bahwa mereka dengan nenek moyang mereka dibodoh-bodohkan dan berhala-berhala mereka dihina, bangkitlah kemarahan mreka dan mulailah mereka memusihi Muhammad dan para pengikutnya. Banyak di antara mereka yang disiksa dengan kejam, terutama yang berasal dari golongan rendah. Namun mereka tidak berani mengganggu Nabi Muhammad SAW karena dilindungi oleh Abu Thalib dan di samping itu beliau dalah keturunan bani Hasyim yang mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi dalam pandangan masyarakat Quraisy, sehingga beliau disegani.
Pada suatu ketika datanglah beberapa pemuka Quraisy menemui Abu Thalib yang meminta agar menghentikan segala kegiatan Nabi Muhamad SAW dalam menyiarkan agama Islam dan supaya jangan mengancam mereka serta menghina nenek moyang mereka. Tuntutan ini ditolah oleh Abu Thalib. Kemudian mreka datang kembali kepada Abu Thalib untuk menyatakan bahwa mereka tidak dapat membiarkan tingkah laku Muhammad SAW itu dan memberikan pilihan : mengentikan ucapan-ucapan Muhammad atau mereka sendiri yang melakukannya. Kemudian timbul kekuatiran dalam diri Abu Thalib akan terjadinya permusuhan dan perpecahan kaumnya, namun ia tidak sampai hati melarang keponakannya. Akhirnya ia memanggil Muhammad dan berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku dijumpai oleh pemimpin-pemimpin kaummu. Mereka mengatakan kepadaku supaya aku mencegah kamu melakukan penyiaran Islam dan tidak mencela agama serta nenek moyang mereka, maka jagalah diriku dan dirimu, janganlah aku dibebani dengan ssesuatu perkara di luar kesanggupanku”.
Mendengar ucapan itu Nabi Muhammad SAW mengira pamannya tidak bersedia lagi melindungi dan berkata, “Demi Allah, wahai paman, sekiranya mereka letakkan matahari di sebelah kananku dan bulan di sebelah kiriku, dengan maksud agar aku tinggalkan pekerjaan ini (menyeru mereka kepada Allah) sehingga ia tersiar (di muka bumi) atau aku akan binasa karenanya, namun aku tidak akan menghentikan pekerjaan ini”. Sesudah mengucapkan kata-kata itu Nabi Muhammad SAW berpaling seraya menangis. Ketika berpaling hendak pergi, Abu Thalib memanggil, “Menghadaplah kemari, hai anakku”. Nabipun kembali menghadap. Berkatalah pamannya, “Pergilah dan katakanlah apa yang kamu kehendaki, demi Allah aku tidak akan menyerahkan kamu karena suatu alasanpun selama-lamanya”.
Demikianlah tekad dan pembelaan Abu Thalib terhadap nabi seterusnya. Walaupun para pemuka Quarisy berkali-kali membujuknya. Dalam pada itu beliau juga menginsyafi kekompakan orang-orang Quraisy menghadapi beliau. Oleh karena itu beliau mengingatkan barisan Bani Hasyim dan Bani Muththalib agar mereka tetap memelihara semangat setia-keluarga, bahwa bilaman salah seorang dari mereka teraniaya, maka seluruh keluarga harus serentak membelanya. Peringatan Abu Thalib ini disambut dengan sungguh-sungguh, baik yang sudah Islam maupun yang masuh kafir.
Ada beberapa faktor yang mendorong orang Quraisy menentang Islam dan kaum Muslimin, antara lain adalah : Pertama, persaingan berebut kekuasaan. Dalam kabilah besar Quraisy, sudah sejak lama terdapat golongan-golongan (keluarga besar) yang saling bersaing untuk merebut pengaruh dan kekuasaan. Tunduk kepada Muhammmad menurut pendapat mereka, sama dengan tunduk menyerahkan pimpinan atau kekuasaan kepada keluarga Muhammad, Bani Abdul Muththalib. Mereka tak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan.
Kedua, Ajaran persamaan hak dan derajat yang dibawa Islam. Orang Quraisy memandang diri mereka adalah lebih mulia dan tinggi dari golongan bangsa Arab lainnya, sedangkan agama Islam memandang manusia itu sama saja hak dan martabatnya, tidak dibeda-bedakan antara hamba sahaya dengan tuannya, antar orang kulit putih dan orang kulit hitam, sebagaimana firman Allah, “…Sesungguhnya orang yang palin gmulia pada sisi Allah, ialah orang yang paling taqwa…” (surat (49) Al Hujarat ayat 13). Oleh karena itu orang Quraisy enggan masuk agama Islam yang menurut anggapan mereka menurunkan martabat diri mereka dan merugikan kedudukan mereka.
Ketiga, Taklid kepada nenek moyang. Segala adat istiadat, kepercayaan-kepercayaan dan upacara-upacara keagamaan yang mereka dapati dari leluhur mereka, diterima dan dipegangi secara membabi buta, sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an, “…Cukuplah bagi kami apa yang telah kami terima dari nenek moyang kami…” (Surat (5) Al Maaidah ayat 104).
4. Hijrah ke Habsyah (Ethiopia)
Setelah orang-orang Quraisy merasa bahwa usaha mereka membujuk Abu Thalib tidak berhasil, maka mereka melancarkan bermacam-macam gangguan dan penghinaan kepada Nabi dan memperhebat siksaan-siksaan di luar peri kemanusiaan terhadap para pengikutnya. Akhirnya Nabi tidak tahan melihat penderitaan sahabat-sahabatnya dan menganjurkan mereka hijrah ke Habsyah (Abisina) yang rakyatnya menganut Nasrani dan Rasul mengetahui bahwa Raja Habsyah, yaitu Najasyi dikenal adil. Maka berangkatlah rombongan pertama yang terdiri dari 10 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Kemudian disusul oleh rombongan-rombongan selanjutnya hingga mencapai 100 orang. Di antara mereka terdapat Utsman bin Affan berserta istrinya, Rukayyah (putrid Nabi), Zuber bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Dja’far bin Abu Thalib dan yang lainnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-5 sesudah Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul (615 M).
Kerika tiba di negeri Habasyah, mereka diterima dengan baik dan dilindungi oleh raja Najasyi. Hal ini menimbulkan kegelisahan bagi orang Quraisy dan kemudian mengutus Amru bin Ash dan Abdullah bin Rabiah yang meminta agar mengembalikan oran-orang Mekah yang hjrah itu, namun permintaan ini ditolak oleh raja Najasyi.
Sementara itu Raasullah tetap tinggal di Mekah, menyeru kaumnya ke dalam Islam walaupun gangguan bertambah sengit. Seorang demi seorang pengikut Islam bertambah. Berkat rahmat Allah, masuklah ke dalam agama Islam 2 orang pemimpin Quraisy yang sangat perkasa, yaitu Hamzah bin Abdul Muththalib dan Umar bin Khathtab. Pawa awalnya kedua orang ni penentang Islam yang sangat kuat. Kehadiran mereka ke dalam Islam menghidpkan semangat kaum Muslimin, karena mereka akhirnya menjadi benteng Islam. Masuknya Umar ke dalam agama Islam itu menimbulkan kejengkelan dan reaksi yang kuat di pihak Quraisy, sehingga mereka memperhebat usaha untuk melumpuhkan gerakan Nabi Muhammad SAW.
5. Pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthalib
Sesudah orang Quraisy melihat bahwa segala usaha dan jalan yan mereka tempuh untuk memadamkan da’wah (seruan) Nabi Muhammad tidak member hasil, karena Bani Hasyi dan Bani Muththalib – dua keluarga besar NabiMuhammad SAW, baik yang sudah Islam ataupun yang belum, tetap melindungi beliau, maka mereka mencari taktik baru untuk melumpuhkan kekuatan Islam itu. Mereka mengadakan pertemuan dan mengambil keputusan untuk melakukan pemboikotan terhadap bani Hasyim dan Mththalib dengan jalan memutuskan segala hubungan, yaitu hubungan perkawinan, jual beli, ziarah menziarahi dan lain-lain. Keputusan mereka itu ditulis di atas kertas dan digantungkan di Ka’baah.
Dengan adanya pemboikotan umum ini, maka nabi Muhammad SAW dan orang-orang Islam serta keluarga Bani Hasyim dan Bani Muththalib, terpaksa menyingkir dan menyelamatkan diri ke luar kota Mekah. Selam 3 tahun lamanya menderita kemiskinan dan kesengsaraan. Banyak juga di antara kaum Quraisy yang merasa sedih akan nasib yang dialami keluarga Nabi itu. Dengan sembunyi-sembunyi pada waktu malam hari, mereka mengirim makanan dari keperluan lainnya kepada kaum kerabat mereka yang terasing di luar kota seperti yang dilakukan oleh Hisyam bin Amr. Akhirnya bangkitlah pemuka-pemuka Quraisy merobek-robek kertas pengumuman di ataas Ka’baah itu. Dengan itu pulihlah kembali hubungan bani Hasyim dan Bani Muththalib dengan orang Quraisy. Akan tetapi nasib pengikut-pengikut Nabi Muhammad bukanlah menjadi baik, bahkan nasib orang-orang Quraisy lebih meningkatkan sikap permusuhan mereka.
6. Nabi mengalami kesedihan
Ketika kesedihan Nabi belum sembuh akibat pemboikotan umum itu, kemudian tiba musibah yang menimpa dirinya, yaitu wafatnya paman beliau, Abu Thalib. Abu Thalib meninggal pada usia 87 tahun. Tidak lam kemudian disusul meninggalnya Siti Khadijah, istrinya. Kedua musibah ini terjadi pada tahun ke-10 kenabiannya. Tahunini dalam sejarah disebut “Aamul huzni” atau tahun kesedihan. Baik Abu Thalib maupun Siti Khadijah telah banyak memberikan bantuan kepada nabi, moril dan materiil. Abu Thalib adalah orang yang amat berpengaruh dalam masyarakat. Dia merupakan perisai yang setiap saat memberikan perlindungan kepada Nabi. Siti Khadijah adalah seorang wanita bangsawan dan hartawan di kota Mekah, dia juga mempunyai pribadi dan pergaulan yang baik dalam masyarakat. Dialah yang menghibur di waktu susah dan menghidupkan jiwa nabi ketika mengalami kesukaran, dikorbanka hartanya untuk perjuangan Rasullah. Kedua orang yang dicintainya itu telah meninggalkannya. Di saat-saat permusuhan Quraisy terhadap beliau sedang menjadi-jadi. Mereka sudah mulai berani menyakiti badan Nabi. Akan tetapi segala macam musibah dan penganiayaan itu tidaklah mengendurkan semangat perjuangan Rasulllah.
Sesudah beliau melihat bahwa Mekah tidak lagi sesuai dengan menjadi pusat da’wah Islam, maka beliau berda’wah keluar kota Mekah. Neger yang dituju adalah Tah-if daerah kabilah Tsaqif. Beliau menjumpai pemuka-pemuka kabilah itu dan diajaknya mereka masuk Islam. Ajakan Nabi Muhammad SAW ditolak dengan kasar. Nabi diusir, disorak-soraki dan dikejar-kejar sambil dilempari dengan batu sampai berlindung di bawah pohon anggur di kebun Utba dan Syaiba (anak Rabi’a).
7. Nabi Muhammad SAW menjalani Isra’ dan Miraj
Di saat-saat menghadapi ujian yang maha berat dan tingkat perjuangan sudah pada puncaknya ini, gangguan dan hinaan, aniaya serta siksaan yang dialaminya dengan pengikut-pengikutnya semakin hebat, maka Nabi Muhammad SAW diperintahkan oleh Allah SWT untuk menjalani Isra’ dan Mi’raj dari Mekah ke Baitul Maqdis di Palestina, terus naik ke langit ketujuh dan Sidratul muntaha. Di situlah beliau menerima perintah langsung dari Allah tentang shalat lima waktu.Hikmah Allah memerintahkan Isra’ dan Mi’raj kepada Nabi dalam perjalanan satu malam itu adalah untuk lebih menambah kekuatan iman dan keyakina beliau sebagai Rasul, yang diutus Allah ke tengah-tengah umat manusia untuk membawa risalahNya. Dengan demikian akanbertambahlah kekuatan batin sewaktu menerima cobaan dan musibah serta siksaan yang bagaimanapun juga besarnya dalam memperjuangkan cita-cita luhur, mengajak seluruh umat manusia kepada agama Islam.
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini terjadi pada malam 27 rajab tahun ke-11 sesudah beliau diangkat menjadi Rasul. Kejadian Isra’ dan Mi’raj ini, di samping memberikan kekuatan batin kepada Nabi Muhammad SAW dalam perjuangan menegakkan agama Alah, juga menjadi ujian bagi kaum Muslimin sendiri, apakah mereka beriman dan percaya kepada kejadian yang mentakjubkan dan di lauar akal manusia itu, yakni perjalanan yang berates-ratus mil serta menembus tujuh lapis langit dan hanya ditempuh dalam satu malam saja.
Bagi kaum Quraisy, peristiwa Isra’ dan Mi’raj, periatiwa ini mereka jadikans enjata untuk menuduh Nabi sebagai pengajar yang tidak beres otaknya, dan mereka jadikan bahan bermacam-macam hinaan dan olok-olokan yang keji. Ilmu pengetahuan dewasa ini ditantang dengan membuka tabir rohani pengetahuan yang diberikan Allah kepada Nabi melalui peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Penemuan ilmu membenarkan teori telepati transmisi masa dengan radio, telephotography (faximile), dan lain-lain yang semula dianggap pekerjaan lamunan belaka.
8. Orang Yatsrib masuk Islam
Pada waktu musim haji, datanglah ke Mekah kabilah-kabilah Arab dari segala penjuru tanah Arab. Di antara mereka itu, terdapat jemaah Khazraj dari Yatsrib. Sebagimana biasanya setiap musim haji, Nabi Muhammad menyampaikan seruan Islam kepada Kabilah-kabilah yang sedagn melakukan Haji. Kali ini beliau menjumpai oranh Khazraj. Mereka ini sudah mempunyai pengertian mengenai agama ketuhanan dan kerapkali mendengar dari orang Yahudi di negeri mereka, tentang akan lahirnya seorang Nabi pada waktu dekat. Segeralah mereka yakin bahwa Muhammad itu Nabi yang dinanti-nantikan. Peristiwa ini merupakan titik terang bagi perjalanan risalah Muhammad SAW. Orang Kazraj yang masuk Islam ini lebih dari 6 orang, tetapi merekalah yang membuka lembaran baru sejarah perjuangan nabi Muhammad SAW.
Setibanya mereka di Yatsrib dari Mekah, mulailah mereka menyiarkan kpada kaum kerabat mereka, tentang kebangkitan nabi akhir zaman, Muhammad SAW, yang berada di Mekah. Berkat kegiatan mereka, hampir setiap orang rumah di Madinah sudah mendengar dan membicarakan tentang Nabi Muhammad SAW.
Pada Tahun ke-12 sesudah kenabian, datanglah ke Mekah di musim haji 12 orang laki-laki dan seorang wanita penduduk Yatsrib. Mereka menemui Rasullah secara rahasia di ‘Aqabah. Di tampat inilah mereka mengadakan bai’at (perjanjian) atas dasar Islam denganNabi, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, berzina, membunuh anak-anak, fitnah memfitnah dan tidak akan mendurhakai Muhammad SAW. Perjanjian ini dalam sejarah Bai’atul Aqahatil Ula (Perjanjian Aqabah yang pertama)m karena dilangsungkan di ‘Awabah untuk pertama kalinya. Selain itu dinamakan pula Bai’atun Nisaa’ (Perjanjian Wanita) karena dalam bai’at itu ada seorang wanita bernama ‘Afra binti ‘Abid bin Tsa’labah. Sesudah selesai pembai’atan ini. Rasullah mengirim Mush’ab bin Umair bersama mereka ke Yatsrib untuk mengajarkan Al Qur’an dan agama Islam. Maka, agama Islampun tersebar ke setiap rumah dan keluarga penduduk Yatsrib, kecuali beberapa keluarga kecil orang Aus.
Pada tahun ke-13 dari kenabian, berangkatlah serombongan kaum Muslimin dari Yatsrib ke Mekah untuk mengerjakan haji. Orang-orang Islam itu mengundang Rasul agar mengadakan pertemuan dengan mereka di ‘Aqabah pada hari tasriq. Sesudah selesai melakukan upacara haji, keluarlah orang-orang Islam dari perkemahan mereka menuju ‘Aqabah secara sembunyi-sembunyi pada waktu tengahmalam. Di tempat itulah mereka berkumpul menunggu Nabi. Jumlah mereka 73 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Rasullah pun datang didampingi oleh Abbas, paman beliau yang pada waktu itu belum menganut agama Islam. Setelah mereka duduk semuanya, maka yang berbicara pertama kali adalah Abbas, katanya, “Para Khazraj, kamu semua telah mengetahui bahwa Muhammad SAW ini adalah salah seorang di antara kaum kami. Kami telah membelanya, sebab itu dia terhormat dan terjaga di negerinya. Sekarang dia ingin menyebelah dan menggabungkan diri dengan kamu. Sekiranya kamu benar-benar bermaksud akan setia kepadanya dalam segala hal, yang kamu kemukakan kepadanya, dan kamu akan membelanya dari semua orang yang menantangnya, dapatlah saya menyerahkan Muhammad SAW kepada kamu, atas pertangungan jawab kamu sendiri. Akan tetapi sekiranya kamu akan meyerahkan kepada musuh-musuhnya dan mengecewakannya, maka tinggalkanlah dia dari sekarang”.
Kata-kata Abbas ini kemudian dijawan oleh Kharaj, “Telah kami dengar apa yang kamu katakana, ya Abbas. Maka cobalah Rasullah sendiri berbicara. Ambillah, ya Rasullah apa yang kamu inginkan buat dirimu dan buat Tuhanmu”. Maka berbicaralah Rasullah dan beliau membaca ayat-ayat di Al Qur’an. Kemudian beliau berkata, “Saya ingin mengambil perjanjian dari kamu semua, bahwa kamu akan menjaga saya sebagaimana kamu menjaga keluarga dan anak-anakmu sendiri”. Kemudian berdirilah 12 orang pemuka Kharaj dan Aus dari penduduk Yatsrib itu. Mereka, masing-masing mewakili golongan yang ada dalam kabilah mereka. Mereka berjanji akan membela Nabi Muhammad SAW walaupun harta dan jiwa mereka habis tandas karenanya. Seorang demi seorang menjabat tangan Rasul, tanda bai’at yang berarti pernyataan dan sumpah setia. Peristiwa ini dalam sejarah dinamakan Bai’atul ‘Aqabah Ats Tsaaniyah (Perjanjian Aqabah kedua).
9. Hijrah ke Yatsrib
Sejak dahulu kota Yatsrib (14 hari perjalanan ke utara Mekah) merupakan stasiun yang penting yang terletak di lalu lintas perdagangan dari Mekah ke Syria. Orang Yahudi dan orang Arab yang beragama Yahudi, sejak sebelum masehi sudah berkuasa di negeri ini. Barulah pada abad ke-5 M, orang Kharaj dan Aus berpindah dari Arabia selatan dan ikut menetap di Yatsrib. Karena hidup mereka berdekatan dengan orang Yahudi, maka mereka sedikit banyak sudah mengerti tentang ketuhanan, kenabian, wahyu dan hari akhirat, sehingga tidaklah mengherankan apabila orang Arab Yatsrib ini mudah menerima agama Islam. Ketika Nabi Muhammad SAW melihat tanda-tanda bai pada perkembangan Islam di Yatsrib, disuruhlah para sahabatnya, “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla telah menjadikan orang-orang Yatsrib sebagai saudara-saudara bagimu dan negeri itu sebagai tempat yang aman bagimu”.
Orang-orang Quraisy sangat terkejut setelah mengetahui perkembangan Islam di Yatsrib itu. Mereka merasa khawatir jika Nabi Muhammad SAW berkuasa di Yatsrib, mereka khawatir Muhammad dan para pengikutnya akan menyerang kafilah-kaflah dagang mereka yang pulang ke Syam. Hal ini berarti kerugian bagi perdagangan mereka. Kemudian bersidanglah para pemuka Quraisy di Daruan Nadwah untuk merencanakan tindakan yang akan diambil terhadap Nabi. Akhirnya mereka memutuskanbahwa Nabi Muhammad SAW harus dibunuh, demi keselamatan masa depan mereka. Untuk melaksanakan pembunuhan ini, setiap suku Quraisy mengirimkan seorang pemuda pilihan. Dengan demikian, apabila Nabi Muhammad SAW berhasil dibunuh, keluarganya tidak akan mampu menuntut bela kepada seluruh suku.
Rencana keji kaum Quraisy ini telah diketahui oleh Muhammad SAW dan beliau diperintahkan oleh Allah SWT agar pindah ke Yatsrib. Hal ini beliau beritahukan kepada sahabatnya Abu Bakar. Abu Bakar meminta kepada Nabi supaya diizinkan menemani beliau dalam perjalanan yang bersejarah ini. Nabi setuju, dan kemudian Abu Bakar menyediakan persiapan untuk perjalan ini.
Pada malam hari ketika pemuda-pemuda Quraisy sedang mengpung rumah Nabi dan siap akan membunuh beliau, Rasullah berkemas-kemas untuk meninggalkan rumah. Ali bin Abi Thalib disuruh menempati tempat tidur beliau supaya orang-orang Quraisy mengira bahwa beliau masih tidur. Kepada Ali juga dipesankan supaya mengembalikan barang-barang yang dititipkan kepadanya kepada pemiliknya masing-masing. Kemudian dengan diam-diam beliau keluar rumah. Dilihatnya pemuda-pemuda yang mengepung rumahnya sedang tertidur, tak sadarkan diri. “Alangkah kejinnya mukamu”, kata Rasullah seraya meletakkan pasir di atas kepala mereka. Dengan sembunyi-sembunyi beliau pergi ke rumah Abu Bakar. Kemudia mereka berdua keluar dari pintu kecil di belakang rumah denganmenaiki unta yang sudah disediakan oleh Abu Bakar menuju sebuah gua di bukit Tsuur di sebelah selatan kota Mekah. Lalu mereka bersembunyi dalam gua itu.
Setelah para algojo mengetahui bahwa Nabi tidak ada di rumah dan terlepas dari kepungan mereka, mereka menjelajah seluruh kota untuk mencari Nabi, tetapi tidak menemukannya. Akhirnya mereka sampai di gua Tsuur, tempat Nabi dan Abu Bakar bersembunyi. Tetapi dengan perlindungan Allah, di muka gua itu terdapat sarang labah-labah berlapis-lapis, seolah-olah terjadinya telah lama sebalum Nabi dan Abu Bakar masuk ke dalamnya. Melihat keadaan ini, pemuda Quraisy tidak menaruh curiga. Setelah 3 hari lamanya merek bersembunyi dalam gua itu dan keadaan sudah dirasakan aman, maka Nabi dan Abu bakar meneruskan perjalanan menuyusur pantai Laut Merah, dan Ali bin Abi Thalib menyusul kemudian.
Fase pertama dari sejarah risalahnya, tidak kurang dari 13 tahun lamanya berjuang antara hidup dan mati menegakkan agama Allah di tengah masyarakat Mekah. Peristiwa sejarah tersebut dituangkan dalam Firman Allah SWT, “Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan sebaik-baiknya pembalasan tipu daya” (Qur’an Surat 8:30 dan Lihat pula Q.S. 9:40).
10. Yatsrib menjadi Medinatun Nabiy
Setelah mengaruni padang pasir yang sangat luas dan amat panas, akhirnya pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ulawal tahun 1 Hijrah, tibalah Nabi Muhammad SAW di Quba, sebuah tempat kira-kira 10 km jauhnya dari Yatsrib. Selama 4 hati beristirahat. Nabi mendirikan sebuah Mesjid, yaitu mesjid Quba. Inilah mesjid yang pertama kali didirikan dalam sejarah Islam. Pada hari Jumat tanggal 12 Rabi’ulawal tahun 1 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 24 September 622 M, Nabi, Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib memasuki kota Yatsrib dan mendapatkan sambutan yang hangat, penuh kerinduan dan rasa hormat dari penduduknya. Pada hari itu juga, Nabi mengadakan sholah Jumat yang pertama kali dalam sejarah Islam. Nabi berkhotbah di hadapan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar). Sejak ini Yatsrib berubah namanya menjadi Madinatun Nabiy, artinya “Kota Nabi” yang selanjutnya disebut Madinah.
Setelah menetap di Madinah, barulah Nabi mengatur siasat dan membentuk masyarakat Islam yang bebas dari ancaman dan tekanan, untuk mempertalikan hubungan kekeluargaan antara Anshar dan Muhajirin, mereka mengadakan perjanjian saling membantu, antara kaum Muslimin dengan orang-orang yang bukan Islam, dan menyusun siasat, ekonomi, social serta dasar-dasar Daulah Islamiyah.
Dalam usaha membentuk masyarakat Islam di Madinah ini, sekaligus beliau berjuang pula memelihara dan mempertahankan masyarakat Islam yang dibina itu dari rongrongan musuh, baik dari dalam maupun dari luar. Dengan demikian perjuangan Nabi di Madinah bersifat 2 segi, yaitu :
- Membina masyarakat Islam
- Memelihara dan mempertahankan masyarakat Islam itu.
J. Nabi Muhammad SAW Membina Masyarakat Islam
Dalam membina masyarakat Islam di Medinah ini, usaha-usaha pokok yang terlebih dahulu dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW antara lain :
1. Mendirikan Mesjid
2. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Ashar
3. Perjanjian Damai dengan Kaum Yahudi
4. Meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat Islam