AGAMA-AGAMA DI INDONESIA

1. Identitas keagamaan Indonesia : pencarian yang tak selesai
“Agama di negara Indonesia ” adalah sebuah pencarian yang belum selesai dan, mungkin, tak akan pernah selesai. Secara formal, menilik dokumen-dokumen terpenting yang menjadi dasar pembentukan negara Indonesia , agama memainkan peran yang amat penting. Pancasila yang menjadi landasan konseptual kenegaraan Indonesia dimulai dengan sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”, yang dipahami sebagai “menjiwai sila-sila lainnya”. Dalam Undang-Undang Dasarnya pun, satu pasal berbicara khusus tentang agama. Fakta penting lain adalah adanya kemajemukan agama.
Beranjak dari fakta-fakta yang tak bisa ditolak ini, bagaimanakah kita mesti membincangkan agama di Indonesia? Apa konsekuensi-konsekuensinya? Dan bagaimana kita menyikapinya? Inilah yang terus terbuka untuk dinegosiasikan, dan mungkin hingga tingkat tertentu tak akan pernah selesai. Hampir enam dasawarsa Indonesia merdeka, beberapa pemerintahan naik dan turun, Orde lama berganti Orde Baru, berganti lagi Orde Reformasi, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu telah membawa kita pada titik krusial Indonesia hari ini. Beberapa tonggak penting kesepakatan—yang terlembaga maupun tidak—telah berhasil dibuat. Tantangan bagi kita saat ini adalah bagaimana mengupayakan jawaban baru sebagai kelanjutan dari—dan mungkin mengoreksi—jawaban yang sudah pernah diberikan sebelumnya dengan sebaik-sebaiknya.
Yang ada sesungguhnya bukan hanya masalah. Agama-agama juga menjanjikan dapat menjadi modal amat bernilai untuk kepentingan bersama. Dari fakta menjadi tantangan, dan lalu peluang, ada banyak hal yang mesti dilakukan. Hanya beberapa di antaranya yang akan diajukan tulisan ini. Pertama, sampai sejauh mana negara boleh dan perlu turut campur dalam kehidupan agama? Bagaimanakah kemajukan agama dikelola? Dan bagaimana agar kemajemukan keagamaan itu tak menjadi beban yang menyulitkan tapi justru modal pengembangan masyarakat?


2. Negara dan definisi agama
Sejak awal sejarah Indonesia, keterlibatan negara dalam urusan-urusan agama tak terelakkan. Sulit menilai apakah ini merupakan sesuatu yang positif atau negatif. Keterlibatan itu lebih merupakan konsekuensi alamiah dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa awal sejarah pembentukan Indonesia sebagai negara merdeka. Keinginan sebagian kelompok Muslim untuk mendasarkan pembentukan negara Indonesia secara lebih eksplisit pada Islam tak medapatkan cukup dukungan. Salah satu jalan yang ditempuh untuk mengakomodasi aspirasi itu adalah pembentukan Departemen Agama—hanya beberapa bulan setelah Indonesia merdeka—yang akan menaruh perhatian khusus pada urusan-urusan sosial Muslim. Dengan itu, keterlibatan agama yang cukup jauh pada kehidupan beragama rakyatnya bermula.
Persoalan utama yang kemudian muncul adalah bagaimana negara menampung aspirasi keberagamaan rakyatnya dan, karena adanya kemajemukan, bagaimana menciptakan rambu-rambu lalu-lintas di antara agama-agama. Setiap kebebasan selalu diikuti dengan hukum. “Negara menjamin kebebasan beragama” yang ada dalam UUD 1945 pun berarti juga membatasi kebebasan itu di wilayah-wilayah persentuhan satu komunitas agama dengan komunitas-komunitas lainnya.
Beberapa persoalan besar kita berawal dari sini. Salah satunya menyangkut definisi “agama” untuk kepentingan administratif kenegaraan dan legalitasnya. Definisi-definisi agama yang diajukan biasanya memiliki bias Islam dan Kristen (sebagai agama Ibrahimi terbesar di Indonesia) yang amat kentara—misalnya persyaratan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Kuasa, adanya tradisi yang bermula dari figur seorang Nabi, dan kepemilikan kitab suci. Menerapkan definisi itu ke agama-agama lain seperti Hindu, apalagi Buddha, tak sepenuhnya memadai. Nyatanya, toh sejak awal Hindu dan Buddha selalu disebut sebagai bagian dari “agama yang diakui” negara. Jelas pengikutsertaan Hindu dan Buddha tidak didasarkan pada kecocokan mereka dengan definisi agama yang dibayangkan para pembuat undang-undang, namun didasarkan pada kenyataan sosiologis bahwa ada cukup banyak pemeluk kedua agama itu di Indonesia. Mendefinisikan agama tentu bukan hanya persoalan akademis, namun membawa implikasi-implikasi praktis yang bisa (dan telah) merugikan sebagian warga Indonesia. Upaya pendefinisian terutama adalah persoalan politik.
Sebagai contoh, ambil saja Kong Hu Chu. Jika “agama yang diakui” bukan didasarkan pada suatu definisi agama, mengapa status Kong Hu Chu tak pernah terlalu jelas? Apakah ini persoalan ketakcocokan dengan definisi “agama”, atau disebabkan upaya-upaya sistematis meminggirkan identitas Cina yang kelihatan amat kentara terutama di masa Orde Baru? Dalam undang-undang, “agama yang diakui” tak pernah diajukan secara kategoris, dan ada inkonsistensi dari masa ke masa. Dalam sebuah pidatonya Presiden Soekarno pernah menyebut Kong Hu Chu sebagai satu dari enam agama yang dipeluk rakyat Indonesia, namun dalam beberapa dokumen lain disebutkan hanya ada lima agama yang diakui.
Dalam penjelasan atas Penetapan Presiden RI No. 1 Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan.atau penodaa agama, keenam agama itu disebut, dan ini masih ditambah dengan kalimat “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Taoisme dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Di masa Gus Dur, berdasar Kepres No. 6 tahun 2000 Kong Hu Chu mendapat tempat yang lebih jelas, namun tahun lalu Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (yang sempat kontroversial, dan beredar tanpa sengaja?) hanya menyebut nama lima agama.
Persoalannya kemudian, pada tataran praktis, ketakjelasan ini bisa menyulitkan sebagian warga. Misalnya, kebijakan memasukkan agama dalam KTP dilaksanakan berbeda dari satu tempat ke tempat. Ada daerah-daerah yang mengijinkan penyebutan “Kong Hu Chu” pada KTP, ada yang tidak. Jika tidak diijinkan, mereka terpaksa “berpindah agama” (yang populer biasanya ke Kristen atau Budha). Implikasi lain, agama ini juga tak diwakili dalam struktur Departemen Agama—artinya, tak ada dukungan negara untuk mereka (bukan hanya tak ada dukungan, namun yang lebih sering terjadi adalah marjinalisasi).
Inkonsistensi serupa tampak pada pengakuan Kristen Protestan dan Katolik sebagai dua kategori agama yang berbeda. Di sisi lain, Islam, yang memiliki mazhab-mazhab hanya diwakili dalam satu kategori. Tak hanya itu, pada tahun 80-an dan 90-an, mazhab Syi'ah, yang sebetulnya sama sekali bukan mazhab Islam pinggiran, sempat dicurigai dan berusaha dibatasi, bahkan ada usulan-usulan untuk melarangnya. Hal serupa terjadi pada Ahmadiyah. Sementara kelompok ini di beberapa tempat sudah terbentuk dengan solid tanpa hambatan berarti, dan membangun masjid-masjid dan lembaga-lembaga pendidikannya sendiri yang cukup sukses, di beberapa tenpat di Indonesia penganut Ahmadiyah dipojokkan (bahkan hingga tahun lalu masih ada berita masjid mereka dipaksa tutup). Meskipun peristiwa-peristiwa itu lebih sering dilakukan kelompok Muslim lain, bukan negara per se , tapi sikap pemerintah yang ambigu dalam soal ini jelas memberikan sumbangan penting bagi ekspresi permusuhan sebagian kelompok masyarakat yang merasa mendapat landasan hukum untuk sikap mereka.
Haruskah negara memutuskan Islam yang mana yang dianggap “menyimpang”? Masuk lebih jauh ke persolan ini, pasal-pasal mengenai penodaan agama (misalnya dalam Kepres No. I Tahun 1965 yang disebut di atas, dan juga dalam draft RUU KUB yang sempat beredar secara tidak resmi) juga cukup “mengerikan”, karena sementara sanksi hukumnya jelas, perbuatan atau penafsiran keagamaan seperti apa yang dianggap sebagai penyimpangan tidak bisa (atau, kalaupun mungkin, amat sulit) diperjelas. Ini membuka ruang campur tangan politik yang terlalu besar dalam kehidupan beragama.
Jadi, apa yang bisa disebut “agama”, dan apa yang bisa disebut agama yang “tak menyimpang”? Sekali lagi, persoalannya menjadi urgen karena ambiguitas pemerintah dalam isu ini memiliki implikasi-implikasi amat konkret yang merugikan masyarakat, dan telah terbukti dapat mengarah kepada kekerasan. Masalahnya menjadi lebih rumit ketika kita berbicara mengenai kelompok-kelompok tradisional seperti komunitas Ammatoa, Wetu Telu, Tolotang, Kaharingan, dan sebagainya. Komunitas-komunitas tersebut memiliki kepercayaan-kepercayaan yang hingga tingkat tertentu dapat saja disebut “agama”, namun tak mendapat jaminan kebebasan beragama, karena tak mengikuti satu dari “agama-agama resmi”. Ketakjelasan “agama” mereka dalam kacamata pemerintah dan undang-undang, membawa implikasi lain. Larangan melakukan dakwah atau kerja misi kepada kelompok yang telah memeluk agama mendorong agama-agama yang lebih besar mengarahkan sasaran dakwah kepada kelompok-kelompok “tak beragama” itu. Kompetisi dakwah ini maupun “pembinaan” dari pihak pemerintah justru dapat mengganggu ketertiban komunitas mereka. Di sini ketakjelasan sikap pemerintah malah dapat merugikan kepentingan pemerintah sendiri terhadap keamanan dan ketertiban.
Bagaimana mengatasi masalah ini? Memandang segala kompleksitas yang ada dalam sejarah kita, ini tentu bukan persoalan mudah. Satu hal yang jelas, persoalan menyangkut Kong Hu Chu, Ahmadiyah, Ammatoa, dan sebagainya, semuanya tampaknya memiliki muara yang sama. Sementara agama disebut dalam undang-Undang Dasar 1945 dan kebebasan melaksanakannya dijamin negara, kesulitan mendefinisikan apa itu yang disebut “agama” membawa berbagai konsekuensi yang tak mengenakkan bagi banyak warga Indonesia.
Di atas disebut tentang keambiguan sikap pemerintah. “Keambiguan” mungkin bukan istilah yang tepat. Karena yang terjadi sesungguhnya adalah pengistimewaan yang diberikan hanya kepada beberapa agama (lima atau enam agama besar); bahkan, lebih jauh, dalam konteks intra-agama, keistimewaan itu diberikan pada mazhab-mazhab/kelompok-kelompok tertentu (misalnya Islam Sunni, dalam kasus Islam). Arah penyelesaiannya mungkin tidak terletak pada upaya mendefinisikan agama secara lebih ketat (yang berarti juga mengeksklusi “agama-agama” lainnya). Tapi dengan mengingat bahwa pengistimewaan adalah sebentuk diskriminasi. Diskriminasi bisa diatasi dengan dua cara: keistimewaan yang diberikan pada kelompok-kelompok tertentu diperluas sehingga diberikan pada semua kelompok; atau, keistimewaan itu dicabut sama sekali. Persisnya seperti apa bentuknya, inilah salah satu pekerjaan rumah bangsa kita yang mesti diselesaikan dengan baik.
Agama memang termasuk urusan “sensitif”. Di masa Orba sensitifitas ini diterjemahkan dengan cara penciptaan kategori “SARA”, sehingga ia menjadi wilayah yang tak bisa dibicarakan dengan leluasa. Kebebasan yang kita peroleh berkat Reformasi—dilengkapi dengan kesediaan berdialog secara beradab—merupakan modal penting untuk menyelesaikan persoalan di atas. Dialog tak pernah mudah, apalagi dalam konteks saling curiga yang sudah berakar cukup dalam di antara umat beragama di Indonesia sepanjang sejarahnya. Namun tampaknya tak ada pilihan lain: “Dialogue or Death”, begitu bunyi judul satu buku; dialog adalah persoalan survival bangsa kita.
Sebelum memulai dialog, ada persoalan “sensitif” lain yang termanifestasikan dalam frasa “kerukunan umat beragama”.


3. Kerukunan Umat Beragama: Kebebasan dan Hukum
Di masa Reformasi, persepsi akan sensitifitas “SARA” telah mulai dilunakkan sedikit demi sedikit melalui perbincangan-perbincangan terbuka, khususnya justru di kalangan masyarakat. Di lain pihak, dalam konteks pemerintahan 6 tahun terakhir ini—dengan beberapa perkecualian aksidental—tampaknya tak terlalu banyak perubahan.
Kesenjangan ini tampaknya menjadi sebab munculnya banyak ketidakpuasan ketika persoalan-persoalan lintas agama diangkat oleh pemerintah dalam konteks pembuatan undang-undang. Dua kasus besar yang tentu masih kita ingat adalah UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan RUU Kerukunan Umat Beragama. Sementara pemerintah tampaknya—mengikuti kebiasaan masa lalu—merasa demikian yakin telah mewakili aspirasi masyarakat dalam proses pengundang-undangan itu, kontroversi tersebut justru memotivasi kelompok-kelompok yang anggotanya berbeda agama untuk berbicara bersama-sama. Sayangnya, ruang yang tercipta untuk membuka kembali hal-hal yang telah lama menjadi ganjalan dan memungkinkan munculnya dialog-dialog itu terlalu sempit karena sepertinya ada ketergesa-gesaan pengesahan undang-undang.
Kebijakan-kebijakan selayaknyalah dibuat atas dasar saran dan usulan dari lembaga-lembaga kemasayarakatan dan melalui sosialisasi yang memadai. Idealnya, DPR memang mewakili rakyat dalam segenap aspeknya. Namun karena DPR tak mungkin dituntut sejauh itu, selalu perlu proses komunikasi dengan wakil-wakil masyarakat. Penetapan target waktu yang tergesa-gesa hanya akan memunculkan kontroversi. Kasus UU Sisdiknas dan RUU KUB (yang sempat diingkari eksistensinya ketika sudah mulai dibicarakan masyarakat) semestinya menjadi pelajaran yang berharga. Dalam suatu negara demokratis, penafsiran atas ideologi atau nilai-nilai yang melandasi negara itu mesti terus menerus ditafsirkan. Dan penafsiran bukan hanya merupakan hak lembaga-lembaga negara, tapi mesti diserahkan kepada dinamika masyarakat, yang terus berkembang. [1] Jika tidak, yang muncul bukan hanya kontroversi tapi juga matinya benih-benih masyarakat sipil yang sedang diperjuangkan.
Jika di satu sisi pemerintah tampak kurang mampu menangkap aspirasi, di sisi lain pemerintah terkadang bersikap terlalu reaktif ketika beberapa isu “sensitif” itu muncul di masyarakat, mengambil jalan pintas demi meredam kemarahan sebagian orang dengan memotong jalur legal-prosedural. Proses mengikuti prosedur secara tegas, apalagi jika itu menyangkut hal-hal sensitif, maupun menggalang pandangan masyarakat sebagai bahan pembuat kebijakan merupakan sarana pemberdayaan dan pendidikan amat berharga bagi masyarakat, sehingga tak seharusnya dilanggar begitu saja.
Dari masa Orba ke Reformasi, dua arus utama yang tampaknya menjadi kecenderungan adalah melakukan desentralisasi dan deregulasi, sebagai kebalikan dari kecenderungan Orba. Menyangkut kecenderungan desentralisasi, obsesi pemerintah (seperti disampaikan Menag) [2] untuk memiliki “payung nasional” dalam suatu undang-undang tentang kerukunan umat beragama tampaknya justru berjalan melawan arus. Diakui oleh Menag bahwa konflik antara umat beragama di beberapa daerah dapat diselesaikan melalui kesepakatan-kesepakatan lokal. [3] Maka, kenapa tak memperkuat upaya-upaya lokal tersebut? Menempatkan upaya-upaya lokal itu di bawah “payung nasional” justru mengancam akan mematikannya, sebagaimana kerap terjadi. Dan memang banyak dari kearifan lokal yang telah keburu mati ketika politik terlalu kuat mengontrol pergerakan masyarakat dari pusat di masa Orba. Padahal ketika sarana-sarana pemecahan konflik lokal itu mati, tak ada budaya atau hukum yang siap mengganti tempatnya. Kecenderungan seperti inilah yang terjadi dalam amat banyak konflik, tak terbatas pada konflik umat beragama. Untuk tak mengulang atau melanjutkan pembunuhan kearifan-kearifan lokal itu, pemerintah semestinyalah memiliki kepercayaan pada masyarakat untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya sendiri, dengan memberi ruang gerak yang cukup leluasa bagi mereka.
Nyatanya, persoalan “kerukunan umat beragama” tak selalu merupakan masalah di antara umat agama-agama. Persoalan yang tak kalah penting adalah adanya ketegangan antara pemerintah dengan umat beragama (inilah sebabnya dalam konsep Tri Kerukunan di masa Menag Alamsjah Ratuperwiranegara [1980], satu dari tiga kerukunan yang disebut adalah antara umat beragama dan pemerintah).
Menaruh kepercayaan yang besar pada masyarakat tentu sama sekali tak berarti pemerintah lalu angkat tangan. Pada kondisi tertentu, tindakan tegas, cepat dan tak diskriminatif dalam lingkup terbatas perlu dilakukan untuk kepentingan keamanan jangka pendek. Keterlibatan yang lebih jauh adalah memfasilitasi gerakan yang telah berlangsung dalam masyarakat, dibekali dengan pemahaman (dan kemauan belajar) dari masyarakat sendiri. Satu contoh baik adalah apa yang dilakukan Menko Kesra Jusuf Kalla dan Menko Polkam S. B. Yudhoyono yang duduk bersama dengan pihak-pihak yang bertikai dalam konflik Maluku pada awal 2002 untuk merumuskan perdamaian. Ini berbuah dengan “Malino II”—meski akhirnya, mungkin karena sudah terlalu terlambat, setelah itu konflik meluas lagi.
Untuk jangka panjang, hukum, yang sifatnya membatasi juga diperlukan. Selain kebebasan, hukum adalah pilar lain negara demokrasi. “Menjamin kebebasan beragama” berarti juga membatasi kebebasan itu di wilayah-wilayah persentuhan antara komunitas agama-agama, demi kepentingan agama-agama itu sendiri. Bagi negara, jika ada yang perlu diatur dalam kehidupan umat beragama, maka itu terbatas pada upaya menciptakan rambu-rambu lalu-lintas di antara agama-agama. Yang perlu dipersoalkan sebetulnya bukanlah perlunya peraturan-peraturan itu sendiri, seperti yang tertuang dalam RUU KUB.
Pembangunan rumah ibadah, misalnya, jelas perlu diatur, dan ini berlaku untuk semua agama, termasuk Islam, justru karena ia merupakan mayoritas. Persoalannya mungkin bukan pada adanya peraturan itu sendiri. Namun perumusannya yang kadang-kadang tak cukup cermat, terkesan seperti disusun tanpa memiliki kesadaran historis hubungan antar-agama maupun hubungan pemerintah-umat beragama di masa lalu; didasarkan pada kepercayaan pemerintah yang amat minimal terhadap kemampuan masyarakat menyelesaikan persoalannya; dan juga tak aspiratif, sebagai akibat adanya kesenjangan antara pengalaman sosial-keagamaan masyarakat yang terus berkembang, dengan persepsi pemerintah tentang yang “bagaimana seharusnya”, sebagaimana disinggung di atas.
Dengan demikian ada keperluan untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Apa yang telah dimulai oleh Balitbang Depag dengan melakukan penelititan-penelitian, khususnya di wilayah-wilayah konflik, dan lokakarya-lokakarya sebetulnya sudah merupakan awal yang amat baik—sejauh ia tak jatuh menjadi “asal menghabiskan dana proyek” seperti yang kita mafhum terjadi di instansi-instansi pemerintah.
Di samping itu, dalam konteks ini, ketika ingin menjaring aspirasi umat beragama, pertanyaan yang kerap muncul adalah, siapa yang mewakili agama? Komunitas agama sendiri bukanlah suatu realitas statis, tapi juga terus berkembang dan memiliki dinamikanya sendiri. Lembaga-lembaga resmi seperti MUI, KWI, PGI, dan sebagainya adalah bagian dari representasi itu, namun tentu mereka tak membuat yang lain menjadi tak relevan. Tokoh-tokoh informal adalah sumber representasi lain. Yang tak dapat dilupakan adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat antara-agama yang belakangan ini telah banyak bermunculan. Pada prinsipnya, semakin banyak anggota komunitas agama yang terlibat, tentu semakin baik. Untuk ini penggunaan alat-alat modern seperti jajak pendapat yang baik menjadi amat relevan untuk pengambilan keputusan secara demokratis. Dengan usaha yang sungguh-sungguh, kesenjangan persepsi dan pengalaman antara pemerintah dan masyarakat dapat dijembatani.
Segala peraturan dibuat untuk memenuhi fungsi yang amat terbatas; sekadar sebagai rambu-rambu penjaga. Karenanya persoalan dialog atau kerukunan antar agama tak cukup berhenti pada sekadar persoalan survival. Dialog yang sejati bukan hanya bertujuan menciptakan kerukunan beragama. Kerukunan hanyalah tahap amat awal. Pada tahap berikutnya, yang diharapkan dari dialog adalah pengkayaan kehidupan beragama dari setiap partisipan dialog. Inilah yang dalam lingkup terbatas sebetulnya juga sudah terjadi dalam masyarakat namun tak tertangkap radar pemerintah. Sejatinya dialog memang jauh melampaui kepentingan pemerintah untuk sekadar menciptakan stabilitas demi kelancaran pembangunan. Sementara negara memang tak punya urusan langsung dengan dialog, fakta bahwa dialog semacam ini telah mulai terjadi selayaknya meningkatkan kepercayaan pemerintah terhadap masyarakat. Hubungan yang lebih produktif antara pemerintah dan masyarakat, paling tidak dapat dibangun dengan memaksimalkan fungsi kelembagaan agama yang ada, apakah itu Depag, MUI, KWI, PGI, Budha Parisadharma, dst.


4. Peran Lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh agama
Satu kenyataan terpahit umat beragama di Indonesia adalah terjadinya konflik-konflik antar mereka sepanjang sejarah Indonesia. Benar, seperti yang sering diungkapkan, konflik-konflik itu lebih merupakan konflik sosial-ekonomi-politik. Tapi fakta bahwa dalam banyak kasus konflik sosial itu kemudian menjadi bernuansa agama menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam pemahaman agama: mengapa agama menjadi begitu mudah dijadikan pembenaran untuk konflik-konflik itu? Apakah ada sesuatu yang salah dalam agama, atau dalam pemahaman agama, atau apa? Karenanya, selain ada persoalan penegakan hukum yang menjadi tanggungjawab negara, kaum agamawan pun memikul tanggung jawab besar di sini. Tak heran, jika dalam suatu kesempatan agamawan Frans Magnis-Suseno (dalam workshop “Kerukunan Antar Umat Beragama di UIN”, 2003) menyerukan “pertobatan para tokoh agama.” Tobat dapat menjadi titik awal yang baik untuk menciptakan kemaslahatan umat.
Adalah keniscayaan bahwa para tokoh agama secara perseorangan maupun lembaga-lembaga keagamaan memikul tanggung jawab yang besar untuk turut menjaga ketertiban dan kesejahteraan negara yang dikenal sebagai negara relijius ini. Tokoh dan lembaga agama, paling tidak, harus memiliki perhatian terhadap sejumlah hal yang menurut hemat kami sangat fundamental dalam melihat perkembangan agam dan umat beragama di Indonesia. Pertama, lembaga agama setidaknya dapat menjamin kebebasan beribadah dan berekspresi bagi pemeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Hal ini mensyaratkan adanya pengakuan terhadap berbagai bentuk keyakinan: lima (atau enam?)
    1. ”agama resmi”, dan juga berbagai bentuk ”agama lokal” yang memiliki wisdom masing-masing. Semuanya selayaknya dikembangkan sesuai dengan kepentingannya dalam memberi jalan hidup bagi pemeluknya.
    2. Kedua, menjamin kehidupan bersama yang harmonis antarpemeluk agama (bagaimana pun ”agama” didefinisikan) dengan mengembangkan ruang-ruang bersama yang memungkinkan interaksi yang sehat dan dialog yang produktif antar mereka. Kebijakan harus diorientasikan pada upaya penciptaan common space bagi publik yang memungkinkan adanya interaksi dan pertukaran sosial antarkelompok yang berbeda secara ideologis dan paham yang memungkinkan munculnya sikap toleran. Negara dalam hal ini berfungsi dalam menjaga keseimbangan kekuatan antarkelompok untuk menjamin ketenteraman dan keteraturan sosial.
    3. Ketiga, lembaga-lembaga agama sesungguhnya memiliki kapasitas untuk meredam konflik agama atau konflik yang melibatkan pemeluk agama, khususnya dengan menciptakan suatu sistem peringatan dini ( early warning system ). Untuk ini dibutuhkan suatu studi yang baik tentang peta konflik agama dan sumber-sumber resolusi konflik yang dapat dimobilisasi untuk penataan sosial.
    4. Keempat, identifikasi dan pemanfaatan sumber-sumber dan potensi agama dalam mendorong proses pembangunan. Untuk itu dibutuhkan suatu pemahaman yang baik tentang potensi dan kekayaan lokal, khususnya dalam bentuk keyakinan lokal, ninai-nilai dan praktik sosial yang menjadi sumber bagi integrasi dan harmoni.
    5. Kelima, lembaga-lembaga agama juga harus mampu membantu manusia untuk keluar dari kemelut, baik itu kemiskinan, ketimpangan, penindasan, maupun trauma yang diderita oleh banyak sekali orang Indonesia di berbagai tempat. Salah satu syarat mutlak agar agama dapat menjadi sumber pemecahan masalah, setidaknya sebagai daya moral, adalah terjaganya otoritas moral umat beragama, khususnya pemimpinnya.
Kelima hal di atas mensyaratkan suatu kepedulian dan komitmen yang besar secara kelembagaan, khususnya Depag, dalam berkomunikasi dan terlibat langsung menciptakan suatu masyarakat yang lebih berkualitas di masa depan. Karena itu, menjadi amat ironis ketika kita tahu bahwa salah satu korupsi terbesar di negara kita terjadi di Departemen Agama! Ironi-ironi seperti inilah yang kerap menimbulkan pesimisme. Tak mengherankan jika tahun lalu, dalam Seminar “Meluruskan Jalan Reformasi” di Universitas Gadjah Mada [4] , muncul pernyataan-pernyataan pesimis sebagai respon dari kebobrokan birokrat kita, khususnya menyangkur korupsi. Dari A. Syafi'i Ma'arif terlontar pernyataan, “kerusakan bangsa ini sudah hampir sempurna”; Nurcholish Madjid: Bangsa Indonesia terperangkap dalam gridlock ; dari Frans Magnis-Suseno: “telah terjadi pengkhianatan terhadap Reformasi”.
Pernyataan-pernyataan amat keras dari para cendekiawan sekaligus agamawan ini nyaris terdengar seperti rasa putus asa. Namun, setahun kemudian, bersamaan dengan berlangsunya Pemilu secara amat mulus dan dinobatkannya Indonesia oleh beberapa media asing sebagai “the third largest democracy”, optimisme pun muncul kembali. Bahwa ternyata sesuatu yang baik masih bisa terjadi di sini, dan ada peluang rakyat melakukan perubahan. Optimisme akan terjadinya perubahan itulah yang menjadi bekal sekaligus amanat terbesar di pundak pemerintahan baru yang menjanjikan perubahan.
Di pihak lain, sudah waktunya bagi kaum agamawan untuk memimpin umat agama-agama (baca: mayoritas bangsa ini yang memiliki sila ketuhanan sebagai yang pertama dari lima dasar negaranya) ikut terlibat menggulati masalah-masalah kritis bangsa ini, dan merealisasikan janji agama sebagai sumber pemberi kebahagiaan manusia.


5. Agama sebagai sumber penyelesaian masalah
Janji-janji agama itu sulit direalisasikan jika agama tak terlibat dalam “dunia”. Dengan kata lain, sulit mengingkari keterkaitan agama dengan politik. Agama memang berbicara tentang suatu perasaan spiritual, suatu kerinduan medalam, akan wujud adialami; namun agama sekaligus juga fenomena kemanusiaan. Agama lahir dalam ruang-ruang pribadi manusia yang amat tersembunyi, namun, sebagaimana sejarah agama-agama dunia menunjukkan, ia juga lahir sebagai tanggapan atas situasi sosial yang, biasanya, menindas. Meminggirkan agama ke ruang-ruang privat pemeluknya dengan demikian mengingkari salah satu alasan keberadaannya.
Mengatakan bahwa agama tak terpisahkan dari politik mengandung resiko besar. Bagaimana pun, kita juga melihat kelanjutan sejarah agama-agama (khususnya Kristen dan Islam) yang bermula sebagai revolusi namun kemudian, setelah revolusi memadat menjadi suatu tatanan yang tertib, di tangan sebagian penguasanya dapat berubah menjadi instrumen penindasan. Bagaimanakah menarik garis keduanya? Diktum Machiavelli “power tends to corrupt” memberikan isyarat bahwa agama sebaiknya tak terlibat secara langsung dalam orbit kekuasaan. Godaan kekuasaan yang terlalu besar, apalagi jika itu dilakukan “atas nama Langit”, justru beresiko merugikan agama itu sendiri—kita sudah cukup melihat bagaimana agama dimanipulasi menjadi komoditas politik. Tak masuk dalam lingkaran kekuasaan tak harus berarti memprivatkan agama. Agama, dengan kekuatan penggeraknya yang amat besar, masih mampu—dan perlu—bermain di ruang publik sebagai suatu daya moral. “Agama bukanlah agama jika tak terlibat dalam politik,” kata Mahatma Gandhi. Persoalannya adalah keberpihakan: pada penguasa atau rakyat?
Sampai di sini, ada satu pertanyaan yang kerap diajukan, khususnya setelah peristiwa 11 September di AS, Bom Bali, dan peristiwa-peristiwa kekerasan lainnya: Apakah agama adalah sumber masalah, atau sumber solusi? Melihat begitu seringnya agama menjadi masalah akhir-akhir ini, sebagian orang membayangkan, seperti John Lennon, ”andaikan saja tak ada agama”. Tapi “tak ada agama” mengingkari fakta sosiologis bahwa—baik atau buruk—agama tetap hidup dan tampaknya masih akan terus hidup hingga waktu yang cukup lama. Jawaban yang lebih menarik: “Kalau tidak menjadi sumber solusi, agama akan menjadi sumber masalah”. Jika agama tak menjadi kekuatan pemberdayaan, ia akan mudah digunakan sebagai instrumen penindasan atau perusak.
Satu contoh yang bisa diajukan di sini adalah kajian mengenai ekologi dan agama yang makin marak belakangan ini. Dengan antroposentrismenya, agama-agama Ibrahimi memang dituduh (dengan alasan yang tak sepenuhnya tepat) sebagai sumber masalah, yaitu sebagai salah satu faktor yang melegitimasi ekplotasi alam yang berujung pada krisis lingkungan modern yang maha besar. Yang mungkin mengherankan, bersamaan dengan makin populernya tuduhan itu pada pertengahan abad yang lalu, muncul pula desakan agar agama menjadi salah satu sumber solusi, ikut berperan lebih besar untuk menghadapi krisis itu. [5] Menghadapi masalah maha dahsyat yang tak mengenal batas-batas negara, agama pun dipanggil. Menghadapi masalah-masalah besar bangsa kita, seharusnyalah agama-agama besar yang hidup di Indonesia terpanggil. Jika tidak, seperti yang disinggung Franz Magnis Suseno di atas, harus ada “pertobatan para agamawan.”


6. Dialog pada tataran praksis
Gagasan menjadikan agama sebagai sumber pemecahan masalah sosial semacam ini tentu bukan gagasan baru. Gagasan ini muncul ketika orang berbicara tentang “kesalehan sosial”, atau tentang perumusan agama dalam bentuk etika sosial. Namun satu hal yang bisa diturunkan dari pernyataan urgensi keterlibatan agama dalam pemecahan masalah menyangkut kerjasama antar-agama.
Satu bentuk dialog antar-agama yang serius adalah dialog bukan pada tataran teologis/intelektual tapi pada tataran praktis. Khususnya dalam situasi dimana kecurigaan-kecurigaan antara umat beragama terasa masih amat kuat dan berakar dalam, model dialog yang bisa dicoba adalah dialog yang berpusat pada upaya bersama-sama (antar-agama) untuk melakukan identifikasi masalah bersama ( common problem ) dan kemudian membicangkan dan berusaha menyelesaikannya bersama-sama. [6] Dialog yang genuine, kata teolog Hans Kung, mau tak mau harus masuk ke wilayah teologis. Namun teologi—yang akan segera membawa pada perbedaan-perbedaan yang amat sulit didamaikan—bukanlah prioritas dalam model ini; teologi dibicarakan hanya sebagai konsekuensi alamiah dari perjumpaan-perjumpaan real upaya penyelesaian masalah bersama.
Dalam konteks Indonesia, apa masalah-masalah besar bangsa kita, yang mengenai umat beragama—apapun agamanya—sebagai bagian terbesarbangsa ini? Dua yang bisa segera disebut adalah kemiskinan dan korupsi. [7] Masalah lingkungan tentu isu lain yang relevan bukan hanya untuk kita—ingat saja kasus Buyat yang belum selesai, atau bencana-bencana longsor dan banjir di banyak wilayah Indonesia beberapa tahun terakhir ini—tapi juga merupakan isu global. [8] Ini semua, strictly sepaking , bukanlah “isu agama”, tapi dampaknya mengenai semua orang, termasuk umat beragama. Isu-isu non-agama seperti inilah yang diharapkan justru dapat mempertemukan umat beragama.
Pertanyaannya, mampukah agama menghadapi permasalahan-permasalahan besar seperti, yang disebut di atas, krisis ekologi dengan skala luar biasa? Mampukah agama menghadapi para penyebab krisis itu yang terdiri dari raksasa perusahaan-perusahaan multi-nasional dan juga negara? Pada awalnya, tak bisa dipungkiri, agama bergerak dari kesadaran moral perseorangan. Inilah, misalnya, yang dilakukan Sarma Siregar, seorang pendeta HKBP ketika memprotes pembukaan kembali Toba Pulp Lestari di Sumatra Utara yang dilihatnya merusak lingkungan, dan akhirnya membawanya ke penjara. Motivasinya adalah mematuhi kata-kata Tuhan yang memerintahkannya menjaga alam. (“Defending the Environment for God”, The Jakarta Post , January 10, 2004) Dalam kasus yang sama, seorang Muslim, Musa Gurning, juga ditahan.
Gerakan perseorangan pun sudah dapat bermanfaat, atau “mengancam". Apalagi jika kesadaran dan gerakan perseorangan berkembang menjadi gerakan kolektif (sebagai agregat individu-individu), yang akan melipatgandakan dampak. “Perseorangan” juga berarti orang per orang anggota masyarakat, termasuk yang punya potensi ikut merusak lingkungan atau setidaknya mendiamkan kerusakan, individu pengambil atau pelaksana kebijakan dalam perusahaan-perusahaan itu, juga individu-individu pembuat kebijakan pemerintahan.
Apalagi dalam suatu negara demokratis—dan kita sepakat pemilu yang baru lalu adalah langkah positif besar ke arah ideal ini—kebijakan-kebijakan, sekali lagi idealnya, adalah manifestasi kehendak rakyat. Rakyat yang berkesadaran moral akan mendorong lahirnya pilihan-pilihan kebijakan yang matang secara etis. Ketika suatu kebijakan akan diputuskan, selalu ada pilihan-pilihan. Yang penting dilakukan adalah memasukkan pertimbangan etis sebagai salah satu kriteria pemilihannya. Tugas kaum agamawan di sini adalah, pertama-tama, mengakrabkan diri dengan persoalan-persoalan besar masyarakatnya, dan lalu merumuskan tanggapan etis yang memadai, dan menyebarkan kesadaran etis itu. Ketika suatu kebijakan dijalankan, akan terbuka lagi peluang-peluang penyalahgunaannya (meski mungkin secara legal dapat diterima). Karenanya pelaksanaan hukum bukanlah persoalan prosedural semata. Komitmen moral akan amat membantu. Perlu ditekankan, gerakan moral ini tentu bukanlah merupakan alternatif penegakan hukum. Namun khususnya ketika masalah-masalah yang dihadapi telah berskala amat besar dan berakar dalam (seperti korupsi, kemiskinan, krisis lingkungan), gerakan moral akan membantu konsistensi penegakan hukum.


7. Pendidikan agama sebagai sarana penyebaran kesadaran etis
Jika pemerintah hendak memfasilitasi gerakan penyebaran kesadaran etis itu, ada satu ruang yang sudah lama terbuka, yaitu pendidikan agama. Meski dalam sekolah-sekolah ini hanya berwujud satu mata pelajaran, pendidikan agama yang wajib diberikan mulai dari tingkat terendah pendidikan nasional hingga ke tingkat universitas sesungguhnya merupakan peluang luar biasa. Tapi nyatanya justru banyak yang mempertanyakan apakah kebijakan ini perlu diteruskan, karena tampaknya tak membawa banyak manfaat—salah satu indikator populer untuk mereka yang skeptis adalah maraknya korupsi di negara kita. Bagi yang optimis, inefektifitas adalah satu masalah yang mendesak diselesaikan, tanpa perlu menutup ruang ini.
Dan ada dasar untuk optimisme itu. Sebagai satu contoh, untuk perguruan tinggi umum, Depdiknas telah mencoba mengadakan pembaruan-pembaruan pengajaran agama ke arah yang lebih baik, dengan mengubah metode maupun isinya. Silabus atau modul tak cukup; pada akhirnya yang menentukan kualitas pengajaran di kelas-kelas adalah pengajarnya dan ketersediaan buku-buku teks yang baik. Jika pengajaran agama yang secara kuantitas amat terbatas itu dapat dikembangkan dengan baik dan disinergikan dengan pengajaran-pengajaran yang lain, kita bisa berharap ada sumbangan—sekecil apapun—ke arah adanya kesadaran etis di antara para lulusan sekolah yang nantinya akan menjadi anggota masyarakat yang memutuskan kebijakan, atau menjalankannya, atau bekerja dalam profesinya masing-masing.
Khusus menyangkut Islam, penerbitan seri ”Islam untuk Disiplin Ilmu” (oleh Depag) untuk mengkontekstualisasikan pengajaran Islam sebenarnya merupakan gagasan yang amat baik. Lepas dari adanya beberapa buku dalam seri itu yang cukup baik, secara keseluruhan tampak adanya kelemahan konseptual yang mendasari seri itu: yaitu, untuk menjawab pertanyaan bagaimana mengaitkan Islam dengan disiplin-disiplin ilmu. Di samping itu, sekali lagi, upaya ini mesti didukung dengan peningkatan kemampuan para pengajarnya.
Dalam skala yang jauh lebih besar, perlu dicatat bahwa beberapa kebijakan pemerintah menyangkut pengembangan madrasah dan pesantren tampaknya justru telah meminggirkan lembaga-lembaga itu. Ada isyarat kuat bahwa keinginan meng- upgrade kualitas pendidikan agar mereka tak tertinggal dalam”ilmu-ilmu non-agama” justru melemahkan pendidikan ”ilmu-ilmu agama” sekaligus. Konsekuensinya sungguh amat besar, karena madrasah dan pesantren menangani siswa-siswa yang tanpa keterleibatan lembaga-lembaga itu mungkin sulit tersentuh tangan-tangan negara. Proses sulit yang dialami beberapa IAIN yang berubah menjadi UIN—dan sebagian orang mengkhawatirkan dampak yang sama (melemahkan pendidikan ilmu-ilmu agama maupun non-agama sekaligus)—sebagiannya bersumber dari persoalan yang sama: dualisme pengaturan pendidikan oleh Depdiknas dan Depag. Dualisme yang kerap menimbulkan inkonsistensi kebijakan pendidikan ini perlu segera diatasi. Inilah pekerjaan rumah lain yang penting segera diselesaikan dengan baik—oleh pemerintah bersama-sama dengan lembaga-lembaga itu sendiri.


*** *** ***
 
Zainal Abidin Bagir adalah staf pada Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies, atau CRCS), Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Pendidikan tingginya ditempuh di ITB (Matematika), lalu International Institute of Islamic Thought and Civilization (Filsafat Islam), dan program doktor pada Indiana University, AS (Filsafat dan sejarah ilmu). Saat ini ia aktif mengajar dan mengembangkan wacana ilmu dan agama di CRCS, maupun sebagai koordinator Masyarakat Yogya untuk Ilmu dan Agama (MYIA).
Irwan Abdullah adalah doktor bidang Antropologi lulusan University of Amsterdam (1994). Saat ini tugas utamanya adalah sebagai Direktur Eksekutif Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies, atau CRCS), Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Ia juga peneliti aktif pada Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Ia terlibat dalam banyak penelitian mengenai topik-topik: kajian budya, gender, keamanan sosial, konflik agama, serta agama dan kekerasan. Beberapa bukunya yang telah terbit, di antaranya adalah Sangkan Paran Gende r (1997); Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan (2001), Indonesia: In Search of Transition (2002).